The Black Cat

Noura Publishing
Chapter #3

William Wilson

Apa yang dikatakannya? Apa yang dikatakan NURANI yang suram, yang menghantui jalan pikiranku?

 Pharronida karya Chamberlayne

 BIARKAN aku menamakan diriku William Wilson untuk saat ini. Halaman kosong yang sekarang terhampar di hadapanku ini tidak perlu dinodai dengan namaku yang sebenarnya. Nama ini telah terlalu sering dihina oleh sesamaku sesuatu yang tidak menyenangkan, sesuatu yang dibenci. Bukankah angin yang mengamuk telah menyebarkan kejahatannya yang tiada bandingan ke ujung dunia? Oh, orang buangan dari semua orang buangan yang paling ditelantarkan! Bagi dunia tidakkah engkau mati selamanya? Demi kehormatannya, demi masa terbaiknya, demi aspirasi berharganya? Dan tidakkah awan yang tebal dan pekat menggantung selamanya antara harapan-harapanmu dan surga?

Seandainya bisa, aku tidak akan membubuhkan catatan tentang tahun-tahunku belakangan ini yang penuh kesengsaraan teramat buruk. Masa ini tahun-tahun belakangan ini tiba-tiba dipenuhi dengan kejahatan, yang asal mulanya semata menjadi tujuanku sekarang untuk menyampaikan.

Manusia biasanya menjadi buruk sedikit demi sedikit. Berbeda denganku, dalam sekejap, seluruh sifat baik yang kumiliki terlepas seperti sebuah mantel. Mulai dari kenakalan kecil, aku lalu melakukan kejahatan yang menjijikkan. Satu peristiwa apa yang menyebabkan terjadinya kejahatan ini. Bersabarlah selagi aku menceritakannya. Kematian sudah dekat; dan bayangan yang mendahuluinya telah menurunkan semangatku. Dalam melewati lembah suram ini, aku ingin sekali agar sesamaku menaruh simpati kepadaku, atau setidaknya belas kasihan. Dengan senang hati aku akan membuat mereka percaya bahwa aku sebagiannya dipengaruhi oleh situasi yang berada di luar kendali manusia.

Aku ingin mereka mencarikan untukku, dalam rincian cerita yang hendak kusampaikan, sedikit kelegaan di tengah belantara dosa. Akan kubuat mereka membenarkan bahwa jika seseorang tidak pernah diberi cobaan sedahsyat itu, dia tentunya tidak pernah jatuh sejauh ini. Karena itukah dia tidak pernah semenderita ini? Bukankah selama ini aku hidup dalam mimpi? Tidakkah saat ini aku menjadi korban kengerian dan misteri dari mimpi duniawi yang terliar?

Aku keturunan dari leluhur yang daya khayalnya selalu luar biasa dan sifat mudah marahnya suka meledak-ledak. Di masa kecil, aku sudah sepenuhnya mewarisi watak keluarga. Saat bertumbuh besar, watak itu berkembang lebih kuat sehingga menyebabkan teman-temanku sangat cemas, dan membuatku terluka. Aku tumbuh menjadi pribadi yang keras kepala, suka berubah-ubah pikiran tanpa alasan jelas, dan mudah marah tak terkendali. Karena sikapku yang kurang bijak dan fisikku yang lemah, orangtuaku tidak bisa berbuat apa pun untuk mengendalikan kecenderungan jahatku. Upaya mereka mendidikku yang lemah dan buruk gagal total dan, tentunya, aku semakin bisa berbuat sesukaku. Sejak saat itu, pendapatku menjadi peraturan dalam keluarga; dan di usia ketika banyak anak-anak masih diawasi dengan ketat, aku dibiarkan dibimbing oleh kehendakku sendiri, dan melakukan apa saja semauku.

Ingatanku akan masa-masa sekolah berhubungan dengan sebuah bangunan bergaya arsitektur zaman Elizabeth I yang berukuran besar dan dipenuhi tanaman rambat. Bangunan sekolah itu berlokasi di sebuah pedesaan berkabut di Inggris, yang ditumbuhi sejumlah besar pepohonan raksasa dengan batang berlekuk-lekuk dan semua rumah yang ada di sana terlihat sangat kuno. Sebenarnya, tempat itu seperti mimpi dan menenangkan jiwa, kota tua yang mengesankan. Saat ini, aku membayangkan diriku merasakan kesegaran udara dingin yang berembus di jalan-jalan kecilnya yang ditumbuhi pepohonan besar dan rindang, menghirup bau harum ribuan semak belukarnya. Dan lagi-lagi hatiku bergetar dengan rasa senang yang tak terlukiskan saat mendengar nada suara lonceng gereja yang menggema setiap jam dengan raungannya yang tiba-tiba dan sendu, memecah kesunyian suasana gelap menara tinggi gereja bergaya Gotik itu.

Aku merasa sangat senang saat mengingat kembali setiap detail kenangan masa sekolah. Meskipun sedang dirundung kesedihan, aku mungkin bisa dimaafkan karena mencari kelegaan sesedikit dan sesingkat apa pun dalam ingatan-ingatan acak yang lemah. Ingatan ini memang sepele dan bahkan tampak konyol, tapi sangat penting karena bisa menggambarkan kapan dan di mana aku menyadari tanda-tanda awal yang samar dari nasib yang setelahnya begitu membayangiku. Akan kucoba mengingat-ingat lagi.

Seperti kukatakan tadi, bangunan sekolahnya tua dan tidak beraturan. Tanahnya sangat luas, dan tembok batanya yang tinggi dan kokoh, dengan lapisan mortar dan pecahan kaca di bagian atasnya, mengelilingi seluruh bangunan. Benteng mirip penjara ini menjadi batas daerah yang bisa kami jelajahi. Daerah di luar benteng ini hanya kami kunjungi tiga kali dalam seminggu. Sekali setiap Sabtu sore, dengan disertai dua asisten guru, kami diizinkan berjalan-jalan sebentar dalam kelompok melewati beberapa padang di sekitar. Dan dua kali pada hari Minggu, kami berjalan beriringan dengan cara berkelompok juga untuk mengikuti kebaktian pagi dan sore di satu gereja di pedesaan itu.

Kepala sekolah kami adalah pendeta di gereja ini. Dengan perasaan sangat takjub sekaligus bingung aku biasa memandangnya dari bangku gereja kami yang jauh di balkon, ketika dia menaiki mimbar khotbah dengan langkah yang pelan dan khidmat! Pendeta ini, dengan roman mukanya yang ramah dan sangat serius, dengan jubahnya yang begitu mengilat, dengan wignya yang dibubuki dengan teliti, menampilkan sosok yang begitu tegas, begitu berkuasa mungkinkah dia ini, yang baru-baru ini, dengan wajah masam dan berbalutkan pakaian khusus, menerapkan peraturan sekolah yang ketat dengan berbekal mistar di tangan? Oh, betapa paradoksnya, cara penyelesaian masalah yang terlalu mengerikan!

Pada tembok tingginya yang tampak membosankan terdapat pintu gerbang yang berat dan terlihat lebih menjemukan, posisinya sedikit miring. Pintu gerbang itu dipenuhi dengan gembok-gembok besi, dan di atasnya terdapat paku-paku besi yang bergerigi dan tajam. Memang benar-benar mengagumkan! Pintu gerbang itu tidak pernah dibuka di luar ketiga jadwal keluar-masuk kami seperti yang tadi telah kujelaskan. Lalu setiap kali engsel pintu itu berkeriat-keriut, kami menemukan banyak sekali misteri. Misteri yang sulit dikatakan.

Tanah luas yang dikelilingi pagar ini tak beraturan bentuknya, dengan banyak tempat bersembunyi yang sama luasnya. Tiga atau empat tempat yang terluas ini membentuk taman bermain. Permukaan tanahnya datar dan ditutupi batu-batu kerikil yang bagus. Aku ingat betul di sana tidak ada pepohonan, bangku-bangku, atau hal-hal yang biasa ditemukan di taman. Taman itu tentu saja terletak di belakang bangunan sekolah. Di bagian depan sekolah terdapat kebun kecil, yang ditanami rumput-rumputan kecil dan lebat serta semak-semak. Tapi kami hanya melewati bagian keramat ini pada saat-saat tertentu saja misalnya saat kali pertama datang ke sekolah ini atau pada akhir masa sekolah, atau mungkin sewaktu orangtua atau teman menjemput, kami dengan gembiranya pulang untuk merayakan Natal atau menikmati liburan musim panas.

Namun, bangunan sekolahnya! Bangunan tua yang indah! Bagiku bagai sebuah istana yang penuh pesona! Liku-likunya serasa tiada habisnya, begitu pun bagian-bagiannya. Pada saat-saat tertentu, sangatlah sulit untuk memastikan kami sedang berada di lantai berapa dari kedua lantai yang ada. Dari tiap ruangan ke ruangan lain, pasti ada tiga atau empat tangga yang mengarah naik atau turun. Belum lagi ada banyak sekali cabang yang mengarah ke samping sulit dibayangkan sehingga gambaran kami yang paling tepat berkenaan dengan keseluruhan bangunan besar ini tidaklah jauh berbeda dengan bangunan yang kami amati membentang hingga ke kejauhan. Selama lima tahun tinggal di sini, aku tidak pernah tahu pasti letak kamar tidur kecil yang diperuntukkan bagiku dan sekitar delapan belas atau dua puluh siswa lainnya.

Ruang kelas yang kami tempati adalah ruangan terbesar di bangunan sekolah ini kukira juga yang terbesar di dunia. Bentuknya sangat panjang, menyempit, dan bersuasana suram, dengan jendela-jendela lengkung bergaya Gotik dan langit-langit dari kayu ek. Di sudut jauh ruangan yang mencekam terdapat ruang pribadi kepala sekolah kami, Pendeta Dr. Bransby. Ruangan ini berbentuk persegi sekitar dua atau empat meter. Strukturnya kokoh dengan pintu sangat besar, yang begitu pintunya terbuka tanpa sepengetahuan “Kepala Sekolah”, kami semua harus rela dikenai hukuman keras dan berat.

Di sudut lain ruangan terdapat dua ruangan kecil yang sama. Memang jauh lebih sederhana, tapi tetap membuat kami terpesona. Salah satunya merupakan ruang asisten guru “klasik”, dan ruang lainnya milik asisten guru “Bahasa Inggris dan matematika.” Tersebar di seluruh ruang kelas, dengan posisi silang-menyilang yang tak beraturan, ada banyak sekali bangku dan meja, berwarna hitam, tampak kuno dan usang, serta di atasnya ditumpuki buku-buku yang sudah sangat lusuh. Meja dan bangku itu penuh dengan guratan huruf-huruf inisial, nama-nama lengkap, gambar-gambar aneh, dan bentuk guratan lain, yang saling tumpang-tindih sehingga sulit diketahui bentuk asli mereka. Seember besar air diletakkan di satu ujung ruangan, dan jam berukuran raksasa ada di ujung lainnya.

Dikelilingi tembok-tembok raksasa dari sekolah terhormat inilah aku melewati masa-masa sekolahku. Pikiran anak-anak yang penuh tidak perlu lagi diisi atau dihibur dengan kejadian-kejadian di luar tembok sekolah; dan aktivitas sekolah yang monoton dipenuhi kegembiraan yang lebih besar dibanding yang pernah kuperoleh dari kemewahan di masa kanak-kanakku yang lebih matang, atau dari kejahatan di masa dewasaku. Tapi harus aku terima bahwa masa awal perkembangan mentalku lebih banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak biasa—bahkan banyak yang terasa ganjil. Pada kebanyakan orang, kejadian-kejadian di masa kecilnya jarang memengaruhi kehidupan di masa dewasanya. Semua kejadian itu hanya berupa bayang-bayang kelabu ingatan yang lemah dan tidak beraturan kumpulan perasaan senang dan sedih yang samar-samar. Bagiku, tidaklah demikian. Sewaktu kecil, aku pasti sudah merasakan dengan energi orang dewasa sehingga kenangan masa itu begitu jelas dan membekas seperti tulisan-tulisan yang tertera di koin bangsa Kartago.

Namun bagi banyak orang betapa sedikitnya kenangan masa itu yang bisa diingat! Bangun pada pagi hari, seruan tidur pada malam hari; kegiatan menghafal di kelas; waktu istirahat dari kegiatan belajar yang kuhabiskan dengan berjalan-jalan; taman bermain yang diwarnai dengan pertengkaran hebat, kegiatan pengisi waktu senggang, dan kegiatan merencanakan persekongkolan; dengan kemampuan mental yang sudah lama terlupakan, semuanya ini yang bercampur dengan sensasi liar membentuk dunia yang penuh kejadian, semesta yang dipenuhi segala macam emosi dan kesenangan. “Oh, le bon temps, que ce siècle de fer! (Oh, masa-masa indah di zaman besi ini).”

Sesungguhnya, gairah, semangat, dan kecenderunganku yang suka menguasai atau memerintah, segera membuatku menjadi karakter yang menonjol di antara teman-teman sekelasku. Perlahan-lahan, aku menjadi pemimpin bagi mereka yang sebaya denganku. Semua siswa sebaya, kecuali satu orang. Pengecualian ini ada pada diri seorang siswa yang, meski tidak punya hubungan keluarga denganku, kami memiliki nama baptis dan nama panggilan yang sama. Sebenarnya hal ini lumrah saja karena meski keturunan bangsawan, namaku merupakan salah satu nama yang umum digunakan pada masa itu. Sebab itulah, aku menamakan diriku dengan sebutan William Wilson, nama fiktif yang tidak berbeda jauh dengan nama asli.

Hanya siswa yang namanya sama denganku saja, yang berani bersaing denganku dalam semua pelajaran di kelas di bidang olahraga dan saat pertengkaran di taman bermain berani menolak memercayai perkataanku dan menolak tunduk pada kemauanku dan tentunya, berani mencampuri perintah sewenang-wenangku dalam segala hal. Jika di dunia ini ada kekuasaan tiran yang tertinggi dan tak terbatas, itu adalah kekuasaan tiran dari seorang anak yang mampu menguasai teman-temannya yang kurang bersemangat.

Sikap Wilson yang suka menentang membuatku sangat malu terlebih lagi, meski dengan beraninya menantang dia, diam-diam aku merasa diriku takut terhadapnya. Mau tak mau kuanggap kemampuannya yang begitu mudah menyaingiku sebagai bukti superioritasnya. Sebab untuk menjadi tak terkalahkan, aku perlu terus berjuang. Namun, superioritas ini bahkan ekualitas ini sebenarnya tidak diketahui oleh siapa pun kecuali diriku. Teman-teman kami tampaknya bahkan tidak menyadarinya.

Sikap Wilson yang suka bersaing, melawan, dan terutama sikap tidak sopan dan keras kepalanya hanya bersifat rahasia. Dia kelihatannya tidak punya ambisi dan energi pikiran yang besar yang membuatku unggul. Persaingan terhadapku bisa jadi dilakukannya hanya untuk menghalangi, mengejutkan, atau membuatku malu; meski ada kalanya ketika aku mengamati dengan perasaan kagum bercampur malu dan kesal, dia mampu memadukan hinaan atau bantahannya dengan sikap kasih sayangnya yang bertentangan. Aku hanya bisa berpikir perilaku aneh ini disebabkan oleh kecongkakannya.

Mungkin tingkah laku Wilson yang angkuh ini, ditambah dengan identitas nama kami yang sama dan kebetulan belaka kami memulai sekolah pada hari yang sama, yang menyebabkan tersebarnya dugaan di antara siswa-siswa senior di sekolah bahwa kami bersaudara. Mereka ini biasanya tidak menyelidiki urusan juniornya dengan sangat teliti. Tadi sudah kukatakan bahwa Wilson sama sekali tidak memiliki hubungan dengan keluargaku. Tapi jika kami bersaudara, kami pasti saudara kembar karena setelah meninggalkan ruangan Dr. Bransby, aku kebetulan mendengar bahwa orang yang namanya sama denganku lahir pada 19 Januari 1813 dan ini kebetulan yang agak aneh; karena aku juga lahir pada tanggal yang sama persis.

Mungkin sepertinya aneh bahwa meski aku sering gelisah akan sikap persaingan Wilson dan semangatnya untuk melawan, aku sama sekali tidak mampu membencinya. Meski hampir tiap hari kami bertengkar di depan umum, dan aku selalu menang, dia dengan cara tertentu mampu membuatku merasa bahwa dialah yang sepatutnya memenangi pertengkaran itu. Sekalipun ada rasa gengsi di antara kami, kami selalu bisa bertegur sapa.

Lihat selengkapnya