The Bloody Nerd

Secret Daymare
Chapter #2

one - a nerd and a loser


“Kalian dibebaskan memilih partner untuk mengerjakan laporan ini, yang jelas aku tidak mau mendengar ada yang tidak mendapat kelompok. Apa ada pertanyaan?”

Gadis di baris kedua, di bangku dekat jendela, mengangkat tangannya ke atas. Rambut hitam panjang lurus sedada, vest hitam diatas seragam putih, poni yang menutupi mata. 

“Ya, Lyrids Cursey?”

“Sepertinya anda lupa, Sir,” ucap gadis itu dengan datar yang tak pernah berubah. “Jumlah anak di kelas ini ganjil, jadi itu berarti seseorang terpaksa harus mengerjakan tugas ini sendiri karena tidak mendapat kelompok.”

“Ah, kau benar. Mariah Karren baru saja pindah dua minggu lalu karena pekerjaan ayahnya. Hm, kalau begitu, aku akan mengijinkan satu kelompok melakukannya bertiga.”

Sir!

Gadis itu kembali mengangkat satu tangannya yang tergenggam. Bola mata abu-abunya mengintip diantara helai rambutnya.

“Jika anda mengizinkan, saya tidak keberatan melakukannya seorang diri.”

Sir Roland mengernyitkan kening dan membenarkan kacamatanya sejenak. Ekspresinya seakan ragu dengan pendengarannya. Sementara Lyrids sendiri tidak bereaksi. Bahunya tegak, dagunya terangkat lurus: proporsi sempurna, seperti yang orang tuanya ajarkan sejak kecil. 

“Apa kau yakin?”

Ia menjawab tanpa membiarkan ada jeda, “tidak ada alasan untuk tidak yakin, kurasa.”

“Baiklah. Semua orang kecuali Cursey mengerjakannya berkelompok.”

***

` Ada banyak hal yang tidak Lyrids sukai tentang sekolah. Salah satunya adalah kerja kelompok. Selagi bisa, ia akan terus berusaha menghindarinya– karena jujur saja, yang satu itu membuatnya mual. 

Ia juga membenci murid di sekolahnya. Sebenarnya, dia membenci semua orang yang pernah dia kenal dan dia lihat, tapi rasa bencinya lebih jelas ia rasakan kepada sekelompok remaja berisik yang masih labil.

Bahkan sebenci-bencinya Lyrids pada anak kecil, ia masih jauh lebih membenci orang-orang yang sepantaran dirinya. Sebagian besar dari mereka kekanakan, dipenuhi obsesi untuk lebih unggul satu sama lain dan menjebak diri mereka dalam euphoria palsu bernama sosial media.

“Videoin, woy! Ini harus divideoin! HAHAHA!”

Lihat selengkapnya