Menyebalkan. Selalu saja bertindak ceroboh dan terburu-buru. Selalu menyalahkan orang lain atas ketidakmampuannya dalam mengelola dan memimpin bawahan. Padahal, sudah jelas-jelas ia yang memberikan instruksi kepada kami untuk melakukan ini dan itu. Kini saat apa yang kami lakukan terbukti salah dan tidak tepat, ia menyalahkan kami dengan alasan kamilah yang tidak mampu bekerja dengan optimal. Sarah memang bos yang sangat amat menyebalkan.
"Yaudah. Kita revisi aja lagi kalau emang salah semuanya. Deadline kita sampai kapan?" Aku melirik Sarah dengan malas. Jujur saja, jika ia bukan teman baikku, aku tidak akan repot-repot memaklumi sifat buruknya yang satu ini.
"2 hari lagi. Semuanya bisa?" Sarah mengedarkan pandangan. Mencoba melihat respon kami terkait dengan pernyataannya barusan.
"Memang kami bisa nolak?" ujar salah seorang karyawan yang sontak mengundang senyum lesu dari beberapa peserta rapat yang lain.
Sarah menghela napas. Ia memijat pelipisnya dengan jemarinya yang lentik, "Oke kalau begitu. Kita akhiri rapat hari ini. Silahkan kembali bekerja."
Semua yang ada di dalam ruangan mulai berhambur keluar. Beberapa di antaranya nampak kecewa sementara yang lain memasang muka masam dan kesal. Bisikan-bisikan lirih yang saling dipertukarkan oleh mereka pun terdengar jelas olehku dan pastinya juga oleh Sarah.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir semua karyawan kantor tidak menyukai Sarah. Selain karena ketidakmampuannya dalam memimpin dan mengambil keputusan, Sarah juga dianggap terlalu acuh dan sombong karena selalu bersikap masa bodoh kepada orang lain. Tak peduli bagaimana orang-orang membicarakan dirinya dari belakang, Sarah tidak pernah memprotes atau pun memarahi mereka. Ia menerima semuanya karena ia tahu bahwa ucapan mereka ada benarnya. Ia menyadari kesalahannya dan berusaha untuk tetap mengambil hal baik dari setiap perkataan mereka.
Bagaimana aku bisa tahu? Tentu saja aku mengetahui segala hal tentang Sarah. Ia adalah sahabatku sejak kuliah. Kami dekat dan saling mengenal satu sama lain dengan sangat baik. Karena kami berdua sama-sama anak rantauan, di kota ini kami tinggal di satu apartemen yang sama untuk menghemat biaya sewa. Itu pula alasan yang membuat kami menjadi semakin dekat tiap harinya.
Aku menghela napas pelan sembari melirik Sarah yang terlihat sedih. Meski ia selalu bertindak ceroboh dan nampak tidak peduli dengan pendapat orang lain tentangnya, Sarah memiliki hati yang sangat baik. Jika ia salah, ia akan mengakuinya. Jika ia ceroboh, ia akan berusaha untuk tidak mengulanginya. Ia memang lambat belajar, tetapi Sarah selalu belajar. Ia berusaha keras untuk memantaskan dirinya sebagai atasan. Ia berusaha untuk mengubah presepsi orang-orang terhadap dirinya. Ia tidak pernah merespon celaan dari karyawan-karyawan lain meski ia mengetahui semuanya. Alih-alih merasa marah dan tersinggung, Sarah berusaha membuktikan bahwa ia mampu dan bisa. Sarah berusaha, selalu berusaha.
"Kamu marah juga sama aku?" Sarah bertanya padaku saat dirinya menyadari bahwa sejak tadi aku memandang ke arahnya tanpa mengatakan apa pun.
Aku menggeleng pelan, "Enggak juga sih. Udah terlanjur juga kan. Marah pun kita semua tetap harus lembur buat revisi semua kesalahannya," aku berkata lirih. Sedikit kecewa karena Sarah mengabaikan saran yang kuberikan untuknya tempo hari.
"Tuh kan marah!" Sarah menghela napas sembari berjalan ke arahku, "Kenapa sih kamu nolak promosinya dan malah nyerahin semuanya ke aku kayak gini? Kalau kamu yang ada di posisi ini, semuanya bakalan lebih baik tahu nggak?" Ia melirikku dengan sewot. Sebentar, Sarah ngambek? Astaga, kenapa aku jadi terlihat seperti orang yang bersalah di sini?
"Kok kamu malah nyalahin aku sih? Kan kemarin aku udah bilang, jangan buru-buru memutuskan semuanya. Lihat dulu berkas-berkas yang ada supaya tahu gambarannya, kamunya aja yang ngeyel! Sekarang, kamu malah salahin aku?" ujarku dengan nada kesal.
Sejujurnya aku tidak berniat marah atau menyudutkan Sarah, aku tahu betul sifatnya. Namun, aku harus mengatakan sesuatu. Dia tidak bisa terus dibiarkan begini jika ia memang ingin belajar dan berubah menjadi orang yang lebih dewasa serta bertanggung jawab. Setidaknya begitulah menurutku.
Sarah terdiam. Sepertinya ia menyadari kesalahannya setelah mendengar apa yang baru saja aku katakan, "Kalau mau dimaafin, traktir aku makan malam di luar. Aku lagi kepingin makan yang pedas-pedas," ujarku dengan tenang. Kami berdua paling tidak bisa jika harus bertengkar lama-lama.
Sarah tersenyum kecil, "Siapa juga yang mau minta maaf?"
Aku menatapnya sebentar, kemudian berkata "Traktirannya ditunggu," ujarku sembari berjalan meninggalkan ruang rapat. Banyak yang harus kuselesaikan hari ini.
Sebenarnya, posisi yang kini ditempati oleh Sarah pernah ditawarkan kepadaku. Sehari setelah atasan terdahulu resign dari perusahaan secara tiba-tiba, seluruh anggota divisi kami diminta untuk melakukan voting agar atasan baru segera ditetapkan. Sedikit aneh memang karena penunjukan atasan umumnya ditentukan oleh direktur, tetapi karena terlalu mendadak dan dibutuhkan keputusan cepat, direktur menyerahkannya kepada anggota tim lainnya karena para karyawanlah yang paling tahu kinerja masing-masing saat di dalam tim.
Hampir semua suara diberikan kepadaku karena rekan-rekan menganggap aku layak dan pantas untuk memimpin mereka. Namun, aku menolak untuk menjadi atasan karena merasa belum siap dan belum pantas.