The Blossom That Forgot the Sky

¢єgιℓηуα нαℓι ⚡
Chapter #1

Di Ujung Sebuah Pelukan

Aku masih kecil waktu itu. Atau mungkin ... hanya kenangan masa kecilku yang menolak tenang, terus muncul dalam mimpi—mengingatkanku pada sesuatu yang seharusnya tak ingin kuingat.

Sulit membedakannya sekarang—antara masa lalu dan mimpi yang samar, keduanya terasa sama kabur, sama dingin. Aku hanya ingat lantai kayu yang dinginnya menembus kaki telanjangku, dan cahaya keemasan yang menembus tirai seperti sedang berusaha mengingatkanku bahwa pagi masih ada.

Udara di sekitarku terasa lembut, hangat seperti sore yang menua. Aku berdiri di tengah sebuah ruangan besar dengan langit-langit tinggi dan jendela besar yang membiarkan cahaya matahari sore menembus masuk. Tirainya berwarna gading, berayun pelan karena angin yang menyelinap lewat celah jendela. Aroma samar bunga melati memenuhi udara—wangi yang menenangkan, tapi entah kenapa membuat dadaku sesak.

Di dalam ruangan itu, semuanya terasa begitu besar. Meja, kursi, bahkan udara—semuanya seolah berjarak dariku. Tapi yang paling kuingat bukan ruangannya, melainkan rasa itu: rasa ingin dipeluk oleh seseorang yang bahkan wajahnya tak bisa kuingat lagi.

Lantai di bawah kakiku dingin, licin, terbuat dari marmer berwarna putih keabu-abuan. Aku menatap sekeliling: ada rak buku tinggi di sudut ruangan, kursi goyang kayu di dekat jendela, dan piano tua dengan penutup kain renda yang sudah sedikit berdebu. Di atas meja kecil, ada bingkai foto yang miring, wajahnya kabur diterpa cahaya.

Aku menatap ke bawah—aku mengenakan baju tidur tipis berwarna biru muda, dengan renda halus di ujung lengannya. Kainnya terasa lembut, agak panjang hingga menyentuh pergelangan kaki. Rambutku terurai, sedikit berantakan, dan kaki telanjangku dingin menyentuh marmer. Semua terasa begitu nyata ... tapi juga seperti kenangan yang seharusnya tidak bisa kuingat.

Lalu aku melihatnya—seorang wanita berdiri di sisi jendela. Rambutnya panjang, berkilau keemasan, jatuh di bahunya seperti aliran cahaya. Gaunnya putih sederhana, namun entah kenapa membuat ruangan ini terasa lebih terang. Ketika matanya bertemu dengan mataku, aku berhenti bernapas. Ada sesuatu di sana—kehangatan yang membuat tubuh kecilku ingin berlari tanpa alasan.

"Aku di sini," katanya pelan, sambil berjongkok dan merentangkan tangan. "Aku sudah menunggumu, Azura."

Lihat selengkapnya