Malam hari di bulan Juni yang sunyi tanpa narasi yang menari. Air mata yang seringkali terjatuh bahkan tanpa mengerti untuk apa ia terjatuh. Hanya ingin membagikan beberapa kegelisahan di dalam kepala, aneh, kadang hampa dan kadang terlalu riuh, berisik. Ssshhhh…. Bisakah kamu diam lalu pergi sejenak, sejujurnya aku ingin ini menetap, tidak pergi. Isi kepalaku selalu tertuju pada satu nama yang tak asing yang membuat bising pada setiap detik di detak jantungku. Ya, aku tahu itu berlebihan tapi aku hanya berusaha jujur dengan perasaan ini layaknya si handal yang mampu melontarkan semua isi hati seenaknya tanpa peduli apa yang akan terjadi setelahnya. Lihatlah, aku yang kembali kaku, tanpa ada permisi ketika pesan darimu kembali muncul di notifikasi. Notifikasi yang tak bisa ku jelaskan mengapa bisa membuatku susah untuk berhenti dari lamunan bahkan untuk menelan ludah yang seharusnya sangat mudah untuk dilakukan, come on, ini bukan ulangan matematika yang mematikan saraf otak.
"Hai"
Sebuah pesan darinya setelah sekian lama. Oke, akan kujelaskan secara rinci tentang dia, yang telah lama mengalihkan dunia ku hingga mampu membuatku menggilainya sampai ke nadi. Dia adalah Badhra Arsa Baga Sambrama. Nama yang sedikit panjang untuk diucapkan namun ia biasa dipanggil dengan sebutan Rama oleh teman-teman termasuk aku. Secara teknis aku mengenal Rama dari bangku sekolah dasar. Sekarang alhamdulilah sudah mahasiswa dan mengerti apa itu tugas menumpuk seperti bom waktu yang akan meledak.
“Hai” sebuah notifikasi pesan dari Rama.
“Iyaa” jawabku.
“Mau nanya-nanya boleh?” balasnya.
“Bole, tapi jangan soal matematika” jawabku asal.
“Mau tanya tentang Kinara bisa minta nomor hp lo aja, biar lebih mudah” ucapnya.
Itu adalah kali pertama aku dengan Rama bertukar pesan melalui message facebook, ya, dia sedang mendekati salah satu temanku di SMP. Bukan, ini bukan kebetulan bisa satu sekolah lagi, aku memang malas saja pindah sekolah atau mungkin kita nyaman sekolah disini, jadi teman-teman SMP ya hampir sama dengan teman SD. Jadi no hard feeling untuk membantunya dengan memberikan nomor handphone ku yang bisa dihubungi olehnya. Sebagaimana mestinya Rama tetap mencari-cari tahu mengenai Kinara, layaknya detektif conan. Sejak itu, aku dan Rama semakin dekat bertukar pikiran, berbagi cerita, bahkan saling berkeluh kesah mengenai hal apapun itu, hingga pada suatu hari ternyata Kinara memintaku untuk bertemu dengan nya saat jam istirahat.
“Gua tau, kalian deket. Makanya gua mau lu yang jagain Rama. Rama udah cerita kok” ucap Kinara, menggengam tanganku.
“Hah? Apaan si nih? Emangnya Rama lilin mesti dijagain?” sahutku, bingung.
“Please, jagain dia. Gua mohon, jangan ngecewain gua Ra..” pintanya lalu pergi meninggalkan ku. Hmm… Berpikir keras itu bukanlah hal yang wajar untuk kepala ku, namun kali ini terlalu rumit apalagi setelah perkataan Kinara, membuat seorang Ayara ingin menjadi wartawan sehari dan mulai menyudutkan nya dengan banyak pertanyaan. Aku melihat sekeliling kelas serta berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi.
“Mau cerita duueeeh” ucapku kepada Randy teman terdekatku.
“Apa? Dongeng ya? Ga ah ntar gua ngantuk” celoteh Randy yang asal-asalan tanpa di cerna terlebih dahulu, meledek.
“Gila ni, pokoknya seru. Masa iya ada pohon gapake baju tadi subuh.” sahutku yang mulai asal.
“Kan. Ga penting deh kalau ngobrol sama lo.” Jawab Randy, mengambil alat tulis dari tasnya. Tadinya aku pikir jika berbagi cerita mengenai hal berat ini ke seseorang terdekatku mungkin akan meringankan beban pikiran namun ku urungkan niat tersebut. Aku sempat berfikir apa tanyakan saja langsung ke Rama, ah tapi tidak. Akhir-akhir ini Rama memang mengirim pesan namun tidak bersangkutan dengan Kinara, melainkan menanyakan kabarku serta hari-hariku, ya mungkin karena sudah tidak ada bahan pertanyaan saja. Aku yang masih berusaha untuk berfikir tiba-tiba dipanggil maju kedepan kelas.