Dalam rumah impian, sang Anak Lelaki menyimak, menunggu tanda-tanda monster di bawah tempat tidurnya. Suatu keberadaan mengerikan di tengah kegelapan telah membangunkannya di malam buta, dan dia menunggu suara napas yang akan membuktikan keberadaan itu. Apakah suara napas akan terdengar? Ataukah makhluk itu akan tiba dalam keheningan dan tanpa peringatan? Anak lelaki itu tidak akan punya cukup waktu untuk membela diri, ataupun menyelamatkan harta tersembunyi dalam kotak mainan tuanya. Kemungkinan munculnya serangan semacam itu membuatnya gentar, tapi dia tidak berani bergerak. Dia tidak berani menengok dari sisi kapalnya dan memeriksa ruang di antara kasur dan lautan luas karpet sisal berkepang yang ada di bawahnya. Dia juga tidak berani menyalakan lampu dan membanjiri ruangan itu dengan cahaya, karena bisa jadi monster itu akan terlonjak ketakutan dari tempatnya bersembunyi. Tidak terdengar suara napas, kecuali miliknya sendiri. Tidak ada suara, kecuali debaran jantungnya.
Rumah impian, itulah sebutan ibu dan ayahnya untuk tempat ini, sebelum semua kesulitan dimulai. “Ini adalah rumah impian kita di tepi laut,” mereka akan mengatakan ini kepada semua pengunjung di musim panas yang menginap di akhir minggu yang panjang. Atau, kepada Nenek dan Kakek Keenan, yang selalu datang untuk menikmati Natal yang benar-benar putih di Maine. “Selamat datang di rumah impian.” Anak lelaki itu tidak yakin, apakah rumah ini adalah tempat mimpi menjadi nyata, atau merupakan rumah yang dibuat dari mimpi. Dulu kala nama itu membuatnya bahagia. Namun, malam-malam sedingin es seperti ini membuat impian itu berubah menjadi mimpi buruk, dan para monster di bawah tempat tidur berdesir di tengah bunyi-bunyian malam hari.
Dia menudungkan selimut ke atas kepala sampai dirinya benar-benar tertutupi. Anak lelaki itu merasakan tekanan berat seolah-olah ada gelombang air laut yang menerpa dirinya, dan dia mengingat kegelapan laut yang mengamuk tanpa tepi dan dasar bergumul di sekitarnya seraya kedua anak lelaki berjuang meraih napasnya di tengah kekacauan berwarna hijau dan kelabu. Dia merasa sesak napas dan ketakutan. Anak lelaki itu melempar selimutnya, terkutuklah para monster itu! Dia duduk di tepi tempat tidur, terengahengah dan menahan dorongan untuk memanggil ibunya, meminta sang Ibu menyelamatkannya. Selamatkan aku! Namun, dia tidak ingin membangunkan Mama di tengah malam seperti ini. Mama tidak percaya akan keberadaan monster.
Akhirakhir ini monstermonster itu datang melalui mimpimimpinya. Para makhluk itu akan dengan perlahan menyentuh bahunya. Mereka berbisik di telinganya ketika dia tidur. Dan dia akan bangun, menemukan kehampaan, tiada siapa pun. Di pagi hari, dia akan merenung tentang kapan dan bagaimana waktu tidur akan tiba. Anak lelaki itu sangat lelah memikirkan semua gambaran di kepalanya. Dari tepi tempat tidurnya, dia bisa melihat melampaui bingkai jendela dan memandang langit bertabur gemintang dingin di atas lautan. Sinar bulan menimpakan bayangan berbentuk persegi di tembok seberangnya, dan dia percaya bahwa jika dia berkonsentrasi cukup lama dan cukup keras, matahari akan muncul di ruang itu dan mengusir semua monster yang ada. Dia akan bertekad melawan kegelapan itu.