The Boy Who Drew Monsters

Mizan Publishing
Chapter #2

Satu: I

Anak lelaki impian. Holly memperhatikan anaknya tidur seperti yang telah dia lakukan ribuan kali, dan bertanya-tanya tentang apa yang ada dalam mimpinya. Tidak apa menunggu sebentar lagi, demikian pikirnya, dia tidak mau mengganggu ketenangan anaknya. Rusuk yang terbalut dada anaknya naik turun dalam napas, dan wanita itu merasa bahwa dia menyelaraskan napasnya, sama seperti delapan tahun lalu ketika anak itu baru dilahirkan. Jack menggenggamkan tangannya hingga terkepal, dan satu tangan berada di bawah pipinya—pasti itu akan meninggalkan bekas di kulit wajahnya. Di bawah kelopak matanya yang berkedipkedip, mata anak itu menggulir bolakbalik seolah-olah dia sedang berkonsentrasi dalam suatu mimpi yang hanya diketahui dirinya, bagaikan suatu film yang diputar dalam alam bawah sadar. Anak itu tampak nyenyak, tampak seperti anak kecil biasa yang normal. Anak biasa yang sedang tertidur nyenyak. Dia menikmati saat itu lambat-lambat, membiarkan ilusi itu bertahan.

Telah tiga tahun berlalu sejak dia berani berdiam demikian dekat dan lama bersama anak laki-lakinya. Di suatu hari musim panas di tepi pantai, anak laki-lakinya yang periang berlari lepas di atas pasir dan bebatuan ke dalam pelukannya, dengan penuh keceriaan. Rambutnya yang halus dan lembut tertanam sempurna di kepalanya, keringatnya beraroma garam berpasir campur sabun mandi, dan seraya anak itu menciuminya terus-menerus, dia membenturkan kepalanya ke tepian tulang pipi Holly. Anak itu penuh cinta terhadapnya, dan Holly membalas cinta itu dengan semangat yang terkadang membuat dirinya takut—dia seolah-olah bisa menelan anak itu karena gemas. Anak lelakinya yang ceria, yang berusia tujuh tahun. Dia telah melingkarkan kedua lengannya demikian erat di leher Holly sehingga dia mengernyit. Sekarang, semua itu hanyalah kenangan. Wanita itu menatap anaknya yang sedang tidur, berharap bahwa anaknya yang dulu akan kembali. Sebelum semuanya dimulai.

Di tengah malam Jack pernah sekali berteriak memanggilnya, dan lengkingannya yang keras bagaikan suara hewan telah membangunkan Holly. Dia terlalu lelah dan terlalu nyaman berada di bawah selimutnya, sehingga akhirnya dia menunggu dengan tegang, menanti tibanya jeritan kedua. Namun, suasana kembali tenang. Holly terdiam mendengarkan selama setengah jam, terdiam gelisah di atas bantalnya sembari memperhatikan sapuan jam alarm yang lambat merayap. Tim telah berbalik memunggunginya dan samarsamar terlihat bentuk tubuhnya yang melandai seperti hamparan bebukitan di kejauhan. Di pagi hari, Holly bangun lebih dulu dan melihat suaminya masih tidur dengan posisi yang sama, dia tidur bagai kerbau.

Dia membangunkan suaminya, “Sudah pukul delapan. Kau minta aku membangunkanmu supaya kau dapat berkeliling. Memeriksa rumahrumah itu karena hawa dingin sudah tiba.”

“Biarkan aku tidur.”

“Tidur hanya untuk orang mati,” Holly berkata dan membuka selimut sehingga punggung suaminya terpapar hawa dingin pagi itu, kemudian dia bangun dan pergi ke kamar anak mereka.

Dia ingin membangunkan Jack dengan lembut dan perlahan. Rambut panjang anaknya yang berwarna gelap menutupi dahi dalam bentuk untaian kusut seperti serabutan ganggang, dan ini memberi aksen pada kulitnya yang pucat dan bentuk wajahnya yang lembut. Anak manis. Holly membungkuk dan berusaha meminggirkan gumpalan rambut itu, dan ketika menyentuh anaknya, dia sadar telah salah langkah.

Lengan Jack menyambarnya secepat sambaran ular. Tinju anak itu menghantam wajah ibunya tepat di bawah mata, dan Holly merasakan nyeri tajam yang menyebar dari tempat tulangnya beradu dengan tulang tangan anaknya. Pukulan yang kedua memeleset mengenai dagu Holly dan tinju anak itu mendarat di bahunya. Dia mundur dan melihat mata Jack memelotot memandangnya dengan kengerian bercampur kemarahan.

Anak itu berteriak, “Jangan sentuh aku! Pergi!!” Dia kembali melancarkan serangannya, serangkaian pukulan dan sikutan tajam berhamburan, dan Holly melangkah menjauh, dia terlalu kaget sehingga lupa membela diri. Rasa takut binatang yang sedang terluka seolah-olah menguasai Jack ketika dia bangkit dari kasurnya dan mengayun-ayunkan anggota tubuh seakan-akan dia tidak mengenali korban serangannya. Holly berdiri dan mundur, mencari-cari barang untuk melindungi dirinya tanpa harus menyentuh anaknya.

“Hentikan Jack, hentikan! Apa yang kau lakukan?”

Tiba-tiba, Jack membeku dengan posisi merangkak dan dia mengangkat wajah untuk memandang Holly, dan perlahan ekspresinya terlihat berubah mengenali ibunya. Dia menunduk seperti anjing yang menyesali perbuatannya.

“Apa yang terjadi kepadamu?”

Jack mengubur wajahnya ke dalam selimut dan mulai menangis. Sejak berumur tujuh tahun, dia tidak dapat menerima sentuhan manusia. Dia akan berusaha mengibaskan lengan yang merangkul bahunya, mundur ketika seseorang berusaha memeluk atau menjabat tangannya, tetapi dia tidak pernah memukul sebelumnya. Bahkan, ketika Tim membungkus tubuhnya dan menggendongnya keluar rumah, ketika mereka benar-benar harus membawanya keluar. Jantung Holly berdegup keras sementara dia berusaha keras menenangkan diri, dan dia merasakan denyut nyeri memar di wajah dan bahu yang panas di bawah kulitnya. Holly terjebak di antara keinginan untuk menenangkan anaknya dan keinginan untuk melarikan diri. Dia terdiam, tidak dapat melakukan keduanya. Dia mencengkeramkan kaki di atas karpet yang berpilin, gelisah menunggu dimulainya gencatan senjata.

Jack kembali berkata, “Jangan sentuh aku,” suaranya yang teredam oleh selimut terdengar tenang.

“Jangan khawatir,” kata Holly, “tidak akan.” Dia menekan titik nyeri di wajahnya dengan ujung jari.

Kemudian, dia menunggu. Akhirnya, anak laki-laki itu duduk dengan paha dilipat dan dia menyilangkan lengannya sembari bergumam dan menenangkan tubuhnya yang bergetar. Matanya terus memandang suatu titik yang berada di belakang ibunya, dan Holly mengamati Jack dengan sabar, menunggu “sakelar” otak anaknya kembali aktif. Gelembung ludah pecah di sudut bibir Jack. Otototot yang mengencang di lehernya mengendur seperti pita.

Holly berharap Jack memukulnya hingga lebam, sehingga ada sejenis bukti yang bisa membuat suami serta dokter mereka percaya terhadap perkataannya selama berbulan-bulan. Sering kali anak itu nyaris kehilangan kendali, dan ini terlalu berat untuk ditanganinya sendiri. Wajah Jack kosong dan tidak ingin melihat keberadaan Holly dalam ruangan itu. Kulitnya yang bagai porselen memerah, dan Holly menatap mata Jack hingga anak itu membalas tatapannya.

“Apa maksud semua ini, Anak Muda?”

“Aku menyesal,” kata Jack.

“Seharusnya kau memang menyesal.”

Jack memberengut dan air mata mengambang di pelupuk matanya.

“Kau menyakiti Mama, Jack. Mengapa kau memukulku?”

Lihat selengkapnya