The Break up Master

Bentang Pustaka
Chapter #1

OSPEK (Orientasi Percintaan di Kampus)

Pagi itu, 796 hari yang lalu ….

Rasanya berat banget untuk bangun dari tempat tidur. Gue masih merasakan nyamannya berpelukan dengan sebuah benda yang paling dicintai oleh para jomblo, yaitu GULING. Gue baru ingat kalau hari ini adalah hari pertama gue menjadi mahasis­wa baru, yang harus datang tepat waktu untuk mengikuti ospek.

Gue mencoba membuka mata, melihat jam di dinding. Jam sudah menunjukkan pukul 06.45. Mampus, gue telat! Bergegas gue bangkit dari kasur. Berhubung perut mules, gue langsung ke wc. Sekembalinya dari wc, jam sudah menunjukkan angka 07.15. Itu artinya gue menghabiskan waktu hampir satu jam hanya buat menuntaskan hajat dan itu juga artinya gue sangat-sangat telat.

Gue panik, menjerit-jerit kayak cewek lagi dikejar orang gila bugil. Gue bergegas lari masuk kamar, mengganti baju tidur dengan kemeja, memakai celana panjang, dan mengambil jaket almamater di dalam lemari.

Gue langsung menuju garasi, mengeluarkan sepeda motor, dan meluncur ke kampus baru, TANPA MANDI.

Jadi mahasiswa baru tentu membanggakan banget. Apalagi jadi mahasiswa di kampus ternama yang sudah diimpikan sejak dari dalam rahim Sang Ibu. Banyak orang di luar sana ingin jadi mahasiswa di kampus ini, tapi mereka gagal saat seleksi.

Dari ribuan, bahkan jutaan orang yang ikut seleksi, gue merasa gue adalah manusia bodoh yang lolos seleksi karena faktor keberuntungan. Seandainya seleksi jadi mahasiswa itu pakai kategori penilaian tampang, bisa dipastikan gue orang pertama yang gagal total.

Sungguh, bangganya gue bisa jadi mahasiswa di kampus biru ini.

Gue memarkir sepeda motor di parkiran kampus. Ada beberapa panitia ospek berdiri di sana, memasang wajah garang kayak nantang perang. Gue dicegat mereka di parkiran.

“Kenapa kamu telat?” tanya seorang senior.

“Hmmm … tadi sakit perut, Kak. Nongkrong dulu di wc,” jawab gue dengan muka nggak merasa bersalah.

Mendengar alasan gue, raut mukanya langsung terlihat murka, seperti Gunung Merapi yang mau meletus.“Ya sudah, jalan jongkok dari sini sampai ke dalam!”

Gue turutin perintah para senior, jalan jongkok dari par­kiran menuju lobi kampus. Seharusnya, sih, jaraknya nggak­ jauh, tapi karena nggak terbiasa jalan jongkok, jadi rasanya kayak jalan puluhan kilometer.

Jalan jongkok bikin badan gue mulai berkeringat, mengeluarkan bau yang sangat menghancurkan pernapasan. Napas gue mulai terengah-engah dan lutut terasa kayak terpisah dari engselnya.

Sang senior mendekati gue, teriak tepat di telinga. “Ce­petan! Lu cowok apa banci, sih?!”

Gendang telinga rasanya mau pecah. Pengen banget gue tarik bibirnya, lalu membuangnya ke tong sampah.

“Capek, ya?” tanyanya lagi.

Gue nggak jawab pertanyaan dia. Gue tahu itu perta­nyaan menjebak. Kalau gue jawab “iya”, hukuman gue bakal bertambah; kalau gue jawab “tidak”, telinga gue bakal dite­riakin lagi. Nasib mahasiswa baru.

Dari pengalaman gue, ada dua hal utama yang harus ditaati selama ospek:

Semua yang dikatakan dan diperintahkan senior selalu benar.

Jika dalam perkataannya ada kesalahan atau perintahnya tidak masuk akal, kembali ke poin pertama.

Menurut gue, ospek itu nggak penting banget. Bayangkan aja, mahasiswa disuruh datang pagi-pagi buta. Terus dari rumah, kita harus membawa tas dari karung beras, sapu lidi, topi yang sering dipakai abang becak, dan banyak barang aneh lainnya. Untuk kaum cowok biasanya disuruh botakin rambut, sedangkan untuk kaum cewek rambutnya harus dikepang nggak keruan layaknya orang gila.

Mungkin senior-senior juga dulunya diperlakukan sama. Tapi, kenapa harus turun-temurun? Ini bukan pengenalan kampus, lebih tepat dibilang ajang balas dendam. Seandainya suatu saat nanti gue terpilih menjadi ketua BEM di kampus, gue akan hapuskan yang namanya OSPEK!

Sampai di depan lobi, gue diseret kayak kambing mau dipotong. Sungguh tidak berperike-hewan-an. Gue dibawa ke barisan khusus mahasiwa yang datang terlambat. Ternyata, bukan cuma gue yang telat. Masih banyak mahasiswa lain yang bernasib sama.

Para senior teriak-teriak memarahi kami agar bisa lebih disiplin dan tepat waktu. Gue hanya bisa diam. Dan, mereka terus teriak-teriak nggak jelas, persis kayak orang gila yang baru diputusin pacar.

Kami diberi hukuman membersihkan sampah yang ada di selokan-selokan kampus. Dalam rombongan, ada cewek yang menurut gue beda sama yang lain. Wajahnya putih bersih, giginya berlapis batangan kawat, dan body-nya … hmmm … seksi kayak gitar Spanyol. Gue lihat, dia lagi menutupi hi­dungnya dengan tangan. Gue mengendus-endus sekitar selokan yang baunya amat menjijikkan.Wah, ternyata bau selokan dan bau badan gue beda tipis, Bro!

Gue pun menghampirinya buat mengajak kenalan. Namun, belum juga gue ngeluarin rayuan jitu gue, eh, tiba-tiba dia pingsan. Gue udah coba buat menangkapnya, tapi gagal. Dia terjatuh dan hampir masuk ke dalam got!

Gue panik, lalu teriak-teriak mencari pertolongan. Padahal dalam hati, gue malah sibuk mikir, Waduh, cantik banget, nih, cewek. Kasih napas buatan nggak, ya? Tetep, ya.

Panitia ospek pun berdatangan, lalu membawa cewek itu ke ruang UKS. Gue, yang jadi satu-satunya saksi mata di TKP saat dia pingsan, mulai merasa bersalah. Mungkin aja, kan, dia pingsan gara-gara bau yang keluar dari badan gue karena belum mandi, terus bercampur sama bau sampah dan menjadi gas yang sangat beracun. Pokoknya, sebagai pria gagah yang punya tanggung jawab, gue harus jenguk dia nanti.

Pas jam istirahat, akhirnya gue menjenguk cewek itu. Gue bawa sebungkus roti dan satu kemasan minuman.

Ruang UKS tampak sepi, gue ngerasa, semesta mendukung aksi heroik yang bakal gue lakukan tiga detik kemudian, menyapa Rasti.

“Hai, Ras. Gimana? Udah baikan?” Sial, gue masih tetap gelagapan.

“Udah, makasih ya,” Rasti masih keliatan lemas. Fiuh, kali ini gue harus berani.

“Nih, buat kamu,” ucap gue malu-malu.

“Ha, apaan ini?” dia tampak terkejut.

“Udah, ambil aja. Kali aja kamu belum makan,” kata gue setengah memaksa.

Dia menatap gue dengan tatapan curiga. Mungkin takut kalau rotinya gue kasih racun.

“Nggak usah curiga gitu. Meski wajahku nggak cakep, aku bukan orang jahat, kok.”

Akhirnya, dia menerima roti itu dan memakannya. Gue cuma diam sambil memperhatikan dia makan. Terjadi kehe­ningan beberapa saat. Lalu, setelah dia menghabiskan rotinya, dia baru cerita. Ternyata dia pingsan gara-gara nggak sempat makan saking buru-burunya pergi ke kampus.

“Makasih, ya, rotinya,” dia menatap gue. “Namaku Rasti,” ucapnya kemudian.

Gue tersenyum sambil mengangguk, “Panggil aja aku Bahdur.”

Pagi itu, 793 hari yang lalu ….

Masa-masa ospek selama tiga hari sudah berlalu. Dari awal sampai hari terakhir ospek, gue selalu datang terlambat dan selalu mengaduk-aduk sampah. Tapi, sejak ospek itu juga, gue merasa pantat gue jadi seksi. Mungkin ini khasiat jalan jongkok tiap pagi selama tiga hari.

Buat gue, hal yang paling berkesan selama ospek adalah kebersamaan. Ibaratnya, nih, suka dan duka selalu ditanggung bersama. Dan, bonus yang paling penting adalah … hubungan gue sama Rasti makin hari makin dekat, hehehe.

Dengan berakhirnya masa ospek, gelar sebagai mahasiswa sudah sah gue sandang. Kampus baru, suasana baru, dan teman-teman baru. Gue coba beradaptasi dengan teman-teman baru, mulai dari mereka yang sama-sama orang Banjarmasin, sampai mereka yang datang jauh-jauh dari daerah lain.

Gue agak prihatin dengan mereka yang datang dari daerah lain. Mereka memilih tinggal di indekos. Tapi, kebanyakan dari mereka salah pilih kamar kos. Saat gue main ke kos teman cowok, gue melihat ada tulisan ‘Dilarang Bawa Cewek ke Dalam Kamar’. Itu artinya, hanya cowok yang boleh masuk kamar mereka, dan itu …, you know what I mean.

Masa-masa di bangku kuliah ternyata beda banget de­ngan masa-masa di SMA dulu. Misalnya aja, di SMA semua tugas dikerjakan bersama, alias contek-mencontek. Tapi di bangku kuliah, semua tugas dikerjakan secara mandiri. Mungkin, di bangku kuliah, kita dituntut untuk jadi pribadi yang lebih dewasa kali, ya. Makanya, gaya, pola pikir, dan tingkah laku kita pun sudah jauh berbeda.

Akan tetapi, ternyata ada, lho, beberapa hal yang masih sa­ma dengan kehidupan SMA. Bahkan, gue pernah ngalamin­ sendiri kejadian itu. Buat gue, itu adalah hal yang paling absurd di dunia. Yup, apalagi kalau bukan soal jatuh cinta, pacaran, dan patah hati.

Saat pembagian kelas, gue dan Rasti ternyata satu kelas. Wuih, seneng banget, dong, gue! Gue pun langsung memberanikan diri membuka obrolan.

“Eh Rasti, kelas sini juga, ya?” tanya gue.

“Iya, nih. Satu kelas dong kita,” sahutnya ramah. “Kita bisa saling bantu, ya, kalau ada tugas.”

Lihat selengkapnya