Sekitar pukul 10.00 pagi Hadley terbangun dari tidurnya yang tak begitu nyenyak. Semalam ia terlalu banyak begadang untuk meneruskan cerita barunya yang ia harapkan akan diterima oleh salah satu publishing company di Boston. Ia mulai bangun dari ranjangnya dengan tubuhnya yang terasa begitu pegal dan kepalanya yang sedikit pusing. Begadang memanglah bukan hal yang baik untuk dilakukan. Tapi Hadley tidak punya pilihan lain. Ia harus bertahan hidup. Terutama sejak Jeon meninggalkannya sendirian di apartemen ini.
Dengan bertelanjang kaki, Hadley menghampiri meja kerja di kamarnya—tempat yang paling sering ia gunakan selama tinggal di apartemen ini. Hadley mematikan layar laptopnya yang ternyata lupa ia matikan tadi malam, mengemas remasan kertas-kertas bekas yang sempat ia gunakan untuk membuat ide yang gagal semalam ke dalam tong sampah, lalu mengambil dua buah cangkir bekas kopi miliknya semalam dari meja kerjanya dan membawanya ke arah dapur. Ia meletakkan cangkir-cangkir itu pada sink lalu mencucinya dengan amat cekatan. Setelah selesai mencuci cangkir kopi miliknya, Hadley kemudian beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Ia berhenti tepat di depan wastafel. Sibuk memandangi refleksinya yang menurutnya tampak seperti orang lain. Hadley hampir tak bisa mengenali wanita yang ada di hadapannya saat ini. Ia memandangi tubuhnya yang kurus, wajahnya yang kusam seperti jalanan berdebu, kedua lingkaran hitam di bawah kelopak matanya——hasil dari kebiasaan begadangnya setiap malam dan juga kedua bola mata birunya yang tampak sayu. Ia mulai menyentuh wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang dipenuhi coretan pena, kemudian ia menghela nafasnya panjang. Ini memang sulit, tapi Hadley harus bertahan.
Tangannya yang mungil dan terbilang kurus mulai ia julurkan untuk mengambil facial foam miliknya, ia berniat untuk mencuci wajahnya, tapi alih-alih mencuci wajah, Hadley justru tersulut emosi. Segera mungkin ia melempar bungkus facial foam yang ternyata telah habis tak bersisa ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamar mandi. Ia menelan kasar salivanya dengan rahang yang mengeras dan perasaan kecewa, lalu mencoba kembali melanjutkan aktivitasnya. Kali ini tangannya mulai menggapai sikat gigi beserta pasta giginya. Dan ia mulai mengerang jengkel saat mendapati pasta giginya pun sudah tinggal bungkusnya saja.
Dengan geram Hadley mengorek sisa-sisa pasta gigi itu dan menggosok giginya dengan emosi yang tak bisa ia tahan lagi. Selesai bergosok gigi, Ia mulai membasuhkan air pada wajahnya dengan penuh putus asa. Hadley hampir menangis saat ini. Saat ia mulai kembali menatap pada sosok wanita di hadapannya. Sosok wanita bertubuh kurus dengan wajahnya yang sudah tak menarik lagi. Wajah yang dipenuhi dengan keputusasaan dan juga perasaan sakit hati.
Hatinya serasa teriris saat harus mengakui jika ia sangat tak berdaya setelah di tinggalkan Jeon 6 bulan yang lalu. Hidupnya benar-benar berantakan semenjak Jeon mencampakkannya begitu saja di apartemen ini. Sejak Jeon pergi, tak ada satupun hal di hidupnya yang berjalan sesuai keinginannya. Hadley bahkan tak bisa bertahan hidup dengan profesinya sebagai freelance fiction writer yang selama ini ia geluti.