Mimpi itu lagi.
Aku mengerjap pelan. Segera setelah mataku terbuka, langit-langit kamar yang kosong menyambut.
Akhir-akhir ini ... aku terlampau sering bermimpi. Tentang seseorang, tentang hari-hari yang kami lalui. Padahal masa itu kini tak lebih dari sekadar jejak masa lalu.
Di keremangan, aku meraba cahaya. Ponsel di atas nakas kurenggut paksa. Sederet angka tertera di sana, menunjukkan malam yang kian menua. Aku bangkit dari tempat tidur lalu mulai menyeret langkah ke dapur.
Air di dispenser menggelegak. Aku mengambil gelas di rak, membasuhnya sebelum menampung air yang kemudian kureguk pelan.
Jendela sengaja kubiarkan sedikit terbuka, demi mengundang semilir angin. Di atas sana, bintang bersinar gemilang.
Hah.
Kalau saja orang itu tidak menyukai bintang, apa aku bisa tidak memikirkannya setiap kali melihat langit kelam?
***
“Pagi, Fara!”
“Pagi Alana,” sambutku, berusaha sesemangat mungkin.
“Hm.” Alana bergumam sembari mengamati dari atas sampai bawah. Tatapannya seperti melihat makhluk paling aneh di seluruh dunia. “Ada yang aneh hari ini.”
“Masa?” Aku mengelak.
“Kenapa?” Ia bertanya curiga. “Kok mata kamu bengkak.”
“Oh?” Aku refleks mengusap mata lalu mulai merancang alasan. “Maraton drama korea semalaman.” Klise, tapi jelas jauh lebih baik dari alasan bermimpi dan memikirkan mantan dengan perpisahan yang sudah dicetuskan dari entah kapan.
Alana menyipitkan mata, terlihat tidak puas. Aku mengangkat bahu. Saat ini, aku sedang tidak dalam suasana hati ingin banyak bicara.
“Ada sesuatu,” ujar Alana lagi. Itu bukan pertanyaan, tapi aku tahu ia sedang mencoba mendapatkan informasi.