Tuhan mengabulkan doaku.
Sekarang, Kak Bara berdiri di hadapan, menatapku dengan matanya yang sendu sembari tersenyum menghipnotis.
Apa ini benar terjadi atau cuma mimpi?
Aku menepuk pipi. Tidak cukup keras untuk membuat telinga berdenging, tapi lumayan membantu tersadar. Iya. Ini nyata. Kak Bara benar-benar ada di sana—tepat di hadapanku—berbicara sambil menatapku.
“Kak Bara?” gumamku.
“Iya,” Kak Bara berhenti sebentar, “Fara, kan?”
Aku membeku. Fakta bahwa kakak kelas paling populer mengetahui namaku—seorang murid serba biasa—sungguh merupakan kebahagiaan.
***
Mari kembali ke beberapa bulan lalu saat degupku berhenti bersama waktu. Dulu, aku masih semester satu. Kak Bara yang mencolok selalu menarik perhatian ke mana pun ia pergi. Termasuk ke perpustakaan.
Sejak pertama sekali bersekolah di sini, secara sadar atau tidak sadar, mataku terus mengikutinya. Tentu saja aku berharap bisa mengumpulkan keberanian untuk menyapa, tetapi ....
Tunggu. Kak Bara yang tadi sedang duduk sambil membaca perlahan bangkit. Ya ampun, lihat itu. Bahkan gerak-geriknya juga sangat ... elegan? Aku tidak tahu kata yang tepat untuk mendeskripsikan.