The Broken Pieces of Our Love

Via Qinuri
Chapter #1

1. Lelaki Pembawa Luka

Kepalaku seperti ditimpa batu, berat dan berdenyut nyeri di bagian belakang. Sudah dua hari dua malam aku kurang tidur, berangkat kerja lebih pagi dan pulang lebih larut. Hari ketiga terlewati dan aku belum menemukan setitik celah pun untuk istirahat dengan tenang.

Pekerjaanku yang ‘baru’ ini benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Sebenarnya, aku hanya menggantikan posisi manajer restoran tempatku bekerja sementara karena sedang cuti melahirkan. Istimewanya, restoran ini termasuk top 3 restoran terbaik dan terpopuler di kota Jember ini. Jadilah aku pontang-panting ke sana kemari dari hari ke hari, untuk mengurus restoran yang milikku saja bukan. Ibu manajer meninggalkan tumpukan pekerjaan yang harus kutangani. Ini baru tiga hari, dan aku harus menjalaninya sampai tiga bulan ke depan. Great!

Pukul sepuluh restoran sudah tutup, tapi aku baru bisa pulang setengah atau satu jam setelahnya. Sejak kondisi jiwa ragaku awut-awutan karena pekerjaan baru ini, aku jadi langganan taksi online untuk mengantarjemputku ke restoran. Aku tidak sanggup lagi menyetir motor seperti waktu menjadi asisten manajer dulu. Aku bahkan sering tertidur di kursi penumpang saat dalam perjalanan pulang. Untungnya bapak sopir taksi online-nya baik-baik, mereka baru membangunkanku ketika sudah sampai di depan rumah.

Dan malam ini terjadi lagi.

Aku mendengar seseorang memanggil-manggil, tapi aku tidak tahu siapa yang memanggil dan siapa yang dipanggil. Cukup lama suara itu terdengar sampai aku tahu bahwa itu adalah suara sopir taksi online yang kutumpangi.

"Sudah sampai, Mbak," katanya sopan.

Aku mengerjapkan mata sementara mengumpulkan kesadaran. Kutarik beberapa lembar uang dari dompet untuk membayar ongkos taksi, lalu beranjak turun. Gara-gara kesibukan di restoran, aku sampai terus menerus lupa top-up saldo non tunai.

Keseimbanganku sedikit terganggu ketika kakiku baru menginjak paving block trotoar, untungnya tidak sampai membuatku terjatuh. Bisa basah semua bajuku nanti. Ada sedikit genangan air di depan pagar, sepertinya sisa hujan tadi sore.

Taksi online yang mengantarku berlalu pergi sementara aku mengaduk-aduk tas selempang untuk mencari kunci pagar. Jalanan di depan rumah kos seketika lengang. Yang terdengar hanya bunyi gemerincing dari dalam tasku sendiri.

Mataku terasa berat sekali, tapi kunciku tidak juga terlihat batang tubuhnya. Kepalaku yang masih berdenyut-denyut membuat gerakan tanganku berganti-ganti antara mengaduk-aduk isi tas dengan memegangi kepala. Seingatku masih tersisa dua tablet obat sakit kepala di dalam laci nakas. Aku harus menelannya malam ini jika tidak ingin tumbang besok. Sakit kepala ini membuat pencarian kunciku jadi semakin memakan waktu. Aku jadi heran, kenapa sih barang yang sedang dicari-cari justru semakin tidak menampakkan diri? Aha! Ketemu.

Aku baru saja akan membuka pintu pagar ketika sebuah motor berhenti di belakangku. Gerakan tanganku terhenti dan refleks kepalaku menoleh. Pandanganku terpaku pada wajah sang pengendara dan kunci yang tengah kugenggam pun terjatuh. Aku membiarkan kunci itu diam di tanah karena detik berikutnya tanganku jadi dingin dan gemetar. Kedua kakiku terasa seperti agar-agar. Jantung ini berdebar tak keruan sampai kukira akan melompat dari tempatnya.

"Tir ... ta." Nama itu meluncur begitu saja dari bibirku, lirih terdengar di telinga.

Lihat selengkapnya