The Broken Pieces of Our Love

Via Qinuri
Chapter #2

2. Selembar Amplop Cokelat

Tanpa sadar aku menahan napas selama menarik lembaran-lembaran kertas putih dari dalam amplop. Jantungku berdetak lebih cepat saat kulihat tinta pena Tirta menembus tipis bagian belakang kertas, menampakkan bayangan tulisan tangan yang sangat kukenal.

Tanganku masih gemetaran ketika membuka lipatan kertas itu. Aku memejam sebentar. Kutarik napas dalam-dalam untuk mengusir perasaan tidak nyaman yang campur aduk di dada. Namun perasaan itu tidak mau berkurang.

Belum sempat kubaca kalimat pertama, ponsel di atas nakas berdering nyaring. Aku terperanjat hingga kertas-kertas itu lolos dari apitan jari-jariku.

"Halo, Pak?" Pak Samuel, bos besar pemilik restoran tempatku bekerja, menelepon.

"Kamu sudah berangkat? Saya sudah di kantor." Kantor yang dimaksud Pak Samuel adalah ruang kerja 'petinggi' restoran yang terletak di samping bangunan utama restorannya.

"Belum, Pak. Saya masih di rumah. Sebentar lagi saya berangkat." Berbohong sedikit tidak apa-apa, kan? Pak Samuel akan merepet panjang lebar kalau aku berkata belum siap. Padahal aku belum mandi dengan segala tetek bengeknya. Tentu saja itu tidak bisa dikategorikan sebentar.

"Oke. Agak cepat ya, Azni. Saya ada urusan lain setelah ini."

"Baik, Pak."

Kulempar ponsel ke atas tempat tidur setelah Pak Samuel menutup sambungan teleponnya. Kukumpulkan kertas surat yang berceceran di lantai, lalu kujejalkan kembali ke amplopnya dengan tergesa. Surat ini bisa menunggu. Toh aku sudah bertahun-tahun hidup tanpa Tirta. Mengabaikannya sedikit lebih lama kurasa tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap hidupku. Tidak akan ada bedanya. Akan tetapi, mengabaikan Pak Samuel lebih lama, itu sama saja dengan otomatis mengajukan surat pengunduran diri. Aku masih cukup waras untuk tidak menghancurkan karier sendiri, jadi kuputuskan untuk menyimpan surat itu di dalam tas lalu bersiap menuju ke tempat kerja.

💔💔💔

Meeting selesai tepat setengah jam sebelum jam buka restoran. Aku, kepala koki, dan beberapa staf lain membubarkan diri menuju pekerjaan masing-masing. Ada banyak sekali yang harus dilakukan untuk persiapan buka. Sebelum berkeliling, aku memeriksa catatan hasil rapat sekali lagi.

Pak Samuel ingin menambahkan dua menu baru di restoran ini, menu yang unik dan tidak ada di restoran lain. Bang Zamroni, sang kepala koki, dan aku bertugas untuk merumuskan menu-menu baru itu untuk di-launching awal bulan depan.

Restoran ini juga akan bergabung dengan dua aplikasi ojek online untuk layanan pesan-antar makanan. Entah apa yang mengilhami Pak Samuel, tiba-tiba saja ingin memakai jasa mereka. Padahal tanpa layanan itu pun, restoran ini sudah ramai. Jumlah pengunjung konsisten setiap harinya. Tanpa ada potongan profit pula. Dan lagi, kenapa tidak dari dulu coba? Waktu Bu Retno—manajer yang asli—belum cuti. Aplikasi ojek online itu kan sudah lama ada. Aku jadi makin repot kalau begini.

Berkas yang diperlukan untuk pengajuan kemitraan dimintanya harus siap hari ini juga. Aku menggerutu dalam hati, tapi hanya bisa melongo di ruang rapat. Bukan Pak Samuel namanya kalau tidak mahir membuat anak buahnya pontang-panting.

Kami juga membahas tentang penambahan karyawan baru untuk diperkerjakan di bagian layanan pesan-antar ini. Jadi sudah jelas akan ada lowongan pekerjaan yang terpampang di website resmi dan media sosial restoran. Selain itu, rencananya akan ada bangunan baru khusus untuk rute lalu lalang pengambilan makanan bagi kurir, agar tidak mengganggu pengunjung lain yang sedang makan.

Lihat selengkapnya