Ujian fisika selesai. Tapi bukan berarti penderitaan anak-anak berakhir. Yang ada mereka tambah stres, kulit pucat, dan mata memandang kosong. Seperti mayat hidup.
Gimana enggak, orang mereka sibuk mencatat rumus fluida tetapi yang diujikan adalah alat optik.
Otomatis mereka berubah menjadi mumi saat melihat soal yang beda jauh sama contekan.
BRAK!
Bunyi gebrakan meja terdengar keras membuat separuh kelas loncat dari kursi.
“Ujian fisika bukan berarti akhir dari segalanya, guys!” teriak Bayu berdiri di atas meja. Gayanya sudah mirip jendral Sudirman. Sayangnya rambut Bayu acak-acakan nggak seperti awal masuk kelas yang rapi, klimis, sampai dibelain pake minyak rambut (langganan minta Ardani).
“Bayu napa, tuh?” bisik Febri di dekat telinga Erina sambil menunjuk arah Bayu.
“Ayannya kambuh kali,” bisik Erina masih sama-sama menatap Bayu.
“Ini kita sekolah cari ilmu apa cari nilai sih! Terus—aduh!” kata Bayu terpotong perkara ia merintih menyentuh dahinya. “Pusing gue, eh, Yan bantuin gue turun dari meja.” Nada teriakan Bayu memelan begitu terkena pusing akibat pobia fisika.
Alamat remed lagi. Erina menarik tubuh Febri keluar kelas. Sebenarnya belum jam istirahat tetapi perkara guru kimia yang jarang masuk kelas karena harus mengurusi ketertiban sekolah. Ya iyalah, guru tatib. Padahal beliau sendiri nggak tertib masuk kelas. Hm.
Tapi nggak pa-pa. Harapan semua siswa SMA Harmony Internasional untuk mendapatkan jamkos hanya kepada golongan guru-guru tatib. Hanya merekalah yang rela meninggalkan kelas setiap harinya demi kepentingan golongannya. Apalagi mendapatkan jamkos di SMA ini tuh susah banget. Jadi jika ada jam yang kosong, itulah surga dunia anak SMA.
Kini mereka berdua sudah duduk manis di bangku kantin. Kantin masih sepi. Jadi nggak perlu mengantre lama-lama buat beli makan.
“Gimana? Lo udah follow Kak Rama belum?” kata Erina memulai pembicaraan.
Febri menggeleng sambil menyesap es Chocolatosnya.
“Yaah, kok belom? Gue aja udah lama nge-follow dia,” kata Erina.