Sepulang sekolah Erina kembali ada rapat. Alhasil sekarang Febri sedang berdiri di dekat halte menunggu angkutan umum. Sendirian.
Febri terus melihat jam tangannya. Sudah jam empat sore dan angkutan umum belum ada yang nongol. Apes banget, deh.
Febri bolak-balik duduk lalu berdiri lagi. Dia takut kalo nggak bisa pulang. Lagian aneh, biasanya angkutan umum jam segini masih banyak. Sedangkan saat ini satu pun sama sekali nggak ada yang nongol. Febri mengangkat jam tangannya lagi.
"Ngapain?" tanya Dimas tiba-tiba langsung duduk di samping Febri. Cewek itu menatap sekeliling. Tidak ada motor.
"Nungguin angkutan umum," jawab Febri sambil mengedarkan pandangannya lagi.
"Gue temenin, ya," tawar Dimas menoleh pada Febri sekilas. Tercetaklah senyuman tipis di bibir Febri.
Kini hanya ada mereka berdua di halte. Dimas bersyukur karena angkutan umumnya nggak nongol-nongol. Jelaslah, semua mikrolet sedang berdemo karena munculnya bus trans yang menghambat jalurnya mikrolet. Tapi alasan itu disimpan Dimas dalam-dalam.
Akhirnya bisa berduaan sama Febri, desahnya senang dalam hati.
"Kayaknya mikrolet nggak bakal muncul deh, Dim," kata Febri gusar.
Emang.
"Gimana nih?"
Jalanan berasap kini terhapuskan oleh rintikan air hujan. Febri melongo dan langsung keluar halte untuk memeriksa apakah benar -benar turun hujan.
Tangannya terulur. Air hujan langsung membasahi tangannya. "Yaaah, hujan, Dim."
Dimas yang sedari tadi mengamati Febri hanya menjawab, "Hujan air kok takut, kalo hujan duit baru gue takut.”
Febri cemberut dan masuk kembali ke halte. Berdiri di depan Dimas sambil berjinjit untuk mencari satu mikrolet saja.