Hari Minggu.
Cewek itu duduk di sebuah kursi menyandar dinding sambil menatap lorong-lorong sekolahnya yang tampak sepi. Tidak ada yang dilakukannya. Hanya duduk manis sambil tersenyum memandang salah satu lorong di depannya.
Secara mental dan psikologis, cewek itu normal. Tidak ada satu gangguan kejiwaan yang menyerangnya. Lantas, mengapa justru di hari Minggu—hari di mana sebagian besar pelajar mengambil jatah istirahat dan menghindari mati-matian dari yang berbau “sekolah”—cewek itu justru berada di kawasan sekolah dan tersenyum pada salah satu lorong di depannya?
“Feb!”
Mendengar suara yang cukup keras memanggil sebuah nama, cewek itu terkejut dan langsung menolehkan kepalanya ke sumber suara.
“Sori lama. Gue masih harus ngurusin beberapa dekorasi buat lomba piala bergilir besok. Lo nggak pa-pa?”
Cewek itu—yang kini diketahui bernama Febri—kembali melirik sekilas pada salah satu lorong yang sedari tadi mengambil seluruh perhatiannya. Sialnya, lorong itu tidak lagi membuat Febri tersenyum, melainkan membuat cewek itu buru-buru mengalihkan pandangannya kembali pada Erina, sahabatnya yang paling menyebalkan.
“Nggak pa-pa apanya? Nggak pa-pa nungguin lo selesai lima jam lagi, atau nggak pa-pa gue dibuat sengsara nungguin lo?” jawab Febri dengan nada malas.
“Salah lo sendiri dari tadi ngotot minta ikut gue. Alasannya, sih, nemenin. Padahal ada maksud lain kan? Ya, kan?” tuding Erina sambil menyipitkan mata.
Febri tidak menjawab, melainkan melirik lagi pada lorong di depannya. Wajahnya semakin menekuk. Sekarang, lorong itu jadi tampak biasa saja. Tidak ada yang menarik. Andai Erina tidak menghampirinya lebih dulu, pasti lorong itu masih membuat Febri tersenyum. Semakin lebar.
“Lo ngeliatin apa, sih?” Erina yang mengetahui arah pandangan mata Febri pun ikut melirik. Kosong. Tidak ada apa-apa. Hanya ada lorong panjang yang tampak sangat tidak menarik.
“Enggak. Gue keingat belum bayar utang gue sama ibu kantin,” jawab Febri.