Febri duduk sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya. Sesekali dia meneguk minuman cokelat yang ada di tangannya dan menikmati perlombaan piala bergilir bulu tangkis yang diadakan oleh anak OSIS di sekolahnya, SMA Harmony Internasional Surabaya.
“Febri...!”
Pemilik nama tersebut menoleh ke kanan.
Febri bukanlah cewek yang populer, dia cukup pendiam di kelas dan berbicara seperlunya saja. Dia juga tidak terlalu pintar, hanya saja dapat diandalkan dalam pelajaran Bahasa Inggris. Febri tidak terlalu cantik jika dibandingkan dengan cewek-cewek lainnya yang melakukan perawatan ekstrem sehingga kulit di wajahnya jauh lebih putih dibanding kulit di lehernya. Matanya cokelat ditutupi oleh kacamata, berkulit kekuningan, hidung tidak terlalu mancung, dan tingginya sekitar 153 cm.
“Apa?” tanya Febri kembali menghadap ke perlombaan bulu tangkis. Senyumnya tersungging lebar sambil kembali menatap salah satu panitia OSIS perlombaan bulu tangkis. Rambut hitam sepundaknya bergerak sesuai irama angin.
“Nggak pa-pa. Kok tumben mau nonton bulu tangkis? Biasanya langsung cus ke perpustakaan kalo lagi ada acara sekolah gini.”
Erina juga ditakdirkan sama seperti Febri, tidak populer dan tidak cantik. Bahkan keberadaan mereka berdua ini seolah seperti bayangan bagi siswa lainnya.
“Bosen aja. Hampir semua buku di perpus udah gue baca. Kecuali semua hal yang berbau Fisika.”