Bunyi bising memekakkan telinga Febri bersamaan dengan dibukanya kedua mata. Pandangannya tak lagi buram seperti tadi, hanya saja pandangannya kini serba putih. Ia mengucek kedua matanya dan mengerjapkannya beberapa kali.
Dilihatnya ada seseorang mengenakan seragam putih dengan simbol plus di lengannya, dan ada dua orang lagi yang menunggu di depan, entah siapa itu. Buram.
“Sudah baikan? Apa yang sakit? Pusing?” tanya seseorang dengan seragam putih yang ia rasa itu adalah salah satu dokter UKS.
Febri menarik napas lalu mengangkat pelan kepalanya. “Udah mendingan, kok. Terima kasih, Dokter.”
Dokter itu pun tersenyum lalu berjalan keluar ruangan dan berbicara pada dua orang tersebut. Salah satunya lalu menoleh ke arah Febri dan langsung berjalan mendekatinya. Semakin dekat semakin membuat penglihatan Febri lebih jelas.
Dia adalah seorang cowok dengan seragam olahraga yang menandakan bahwa dia juga salah satu siswa dari SMA Harmony Internasional. Mukanya terlihat merah dan terdapat beberapa bulir keringat yang masih membasahi pelipisnya. Seragamnya juga terlihat basah.
Tunggu, wajahnya tampak familier.... Ah, dia! Cowok blasteran Pakistan yang sempat menyapa Febri di lorong kemarin. Hari Minggu.
“Em, gimana? Sori, tadi gue nggak sengaja mantulin bola basket terlalu keras. Sekali lagi gue minta maaf,” kata cowok itu dengan nada penuh rasa bersalah. Ia terus menggigit bibir bawahnya dan menggaruk tengkuknya. Sepertinya ia bingung apa yang harus dilakukan.
“Iya, gue udah nggak pa-pa, kok,” ujar Febri tersenyum tipis walau perasaannya sedang dongkol. Ia lalu mengumpat dengan bergumam kecil, “Emang lo pikir jidat gue ini ring basket apa?”
“Apa?” tanya cowok di depannya membuat Febri gelagapan sendiri.
“E-enggak, kok,” jawab Febri dengan cengiran.