Cowok itu berjalan di dalam koridor sekolah dengan jaket yang tidak dipakai, melainkan hanya diselempangkan di atas bahu kirinya. Matanya melirik tajam kepada beberapa cewek yang sedang diam-diam memperhatikannya.
Tak mau kalah, Febri ikut-ikutan mengintip dari balik jendela saat cowok itu—cowok yang sempat membuatnya tersenyum sepanjang malam sejak kejadian di toko buku dan selanjutnya—melewati depan kelasnya.
Erina yang sedari tadi turut memperhatikannya pun tersenyum menggoda Febri yang matanya terus mengekor pada sosok itu. “Ternyata, lo beneran suka, ya?” ledek Erina membuat pipi Febri sempat bersemu memerah.
“Apaan? Enggak! Gue cuma—“
“Naksir?”
“Ah, tau ah!” Febri membuang muka. Bayu—si ketua kelas—langsung mempersiapkan semuanya sebelum pelajaran pertama dimulai.
Bu Cinta memasuki kelas dengan beberapa lembar kertas ujian di tangannya, membuat anak-anak langsung tegang di tempat. Jelas saja. Dari tahun ke tahun kalo ada yang nggak remed ujian fisika termasuk suatu peristiwa langka. Dan persentase siswa yang tidak remed dibandingkan siswa yang remed adalah nggak sampai lima persen. Kurang hebat apa coba?
“Ardani.”
Nama yang sempat dipanggil tersebut langsung berdiri dan berjalan menuju meja Bu Cinta untuk mengambil hasil ujian fisika. Saat kembali, raut Ardani seperti habis terciduk emaknya lantaran menghilangkan botol Tupperware. Gimana enggak? Dari lima soal tidak ada satu pun yang dijawabnya. Katanya, kalo emang nggak bisa ngerjain soal, mending ditulis ulang aja soalnya. Yang penting kan mengisi.
Boleh dicoba.