Sunyi. Sepi. Hanya ketukan pensil di atas meja yang sedari tadi mengisi kesunyian perpustakaan. Febri duduk sambil menaruh kepalanya di atas tangan. Sepertinya merangkum satu bab yang tebelnya hampir separuh buku itu cukup membuat jari-jari kram.
Erina yang juga merasakan kram di jarinya pun berhenti untuk menulis dan lebih memilih untuk membuka handphone dan ketawa-ketawa sendiri ngelihatin postingan Instagram.
“Haha.”
Febri yang merasa risi karena tawa Erina yang nggak ada habisnya pun langsung merebut handphone-nya dan mematikannya.
“Apaan sih, Feb? Rese lo!” Erina berusaha merebut kembali handphone-nya, namun langsung dijauhkan oleh Febri.
“Lo yang rese! Dari tadi ketawa nggak jelas. Autis kalo udah pegang handphone.”
“Balikin Feeeb!” Erina berdiri dan mendekat ke Febri untuk mengambil handphone-nya di balik punggungnya.
“Ogah!”
Erina merengus kesal lalu kembali ke tempat duduknya dan membenamkan mukanya di atas lipatan tangan. Lalu beberapa cowok memasuki perpustakaan dan berjalan santai melewati mereka berdua. Febri yang masih asyik menjahili Erina pun langsung berhenti ketika melihat beberapa kakak kelas duduk persis di depannya. Bukan secara face to face, namun duduk di meja lain di depan Febri.
“Eh, Rin, bangun deh,” gusar Febri dan langsung mendapatkan tatapan kesal dari Erina. “Itu… yang pake jam tangan hitam itu temennya Kak Balok Es, kan?”
Erina langsung melihat ke arah yang dimaksud Febri. Cewek itu menyipitkan mata. “Kak Balok Es siapa?”
“Kak Rama.”
“Sejak kapan dia ganti nama jadi Balok Es?” tanya Erina bingung.
“Itu panggilan kesayangan gue.” Febri memutar bola matanya. “Itu temennya, kan?”
Erina mengangguk. “Kak Naufal? Kenapa?”
Febri tersenyum lebar dan meremas jari-jari Erina. “Berarti… sebentar lagi pasti ada Kak Balok Es.”