Saat melangkah ke area parkiran, tubuh Rama langsung saja terhuyung ke depan. Ia menoleh ke belakang dengan ekspresi bertanya-tanya. Lagi-lagi Dimas. Rama melanjutkan jalannya.
"Ram."
"Hm."
Dimas menyentuh pundak Rama, lalu berjalan sok akrab seperti layaknya sepantaran. Padahal di SMA Harmony Internasional ini siswanya menganut sistem senioritas. Namun tidak dengan Dimas-Rama. Bahkan mereka berdua ini sudah sering dijuluki sebagai cogan kembar. Rama maupun Dimas tidak keberatan dijuluki seperti itu, dan jujur saja mereka berdua ini satu-satunya siswa dari kalangan cogan populer yang tidak memandang kasta.
"Lo kenal Febriana?"
Rama terus berjalan hingga area parkiran. Ia tidak begitu mengindahkan pertanyaan Dimas—adik sekaligus sohibnya—walaupun ia cukup kaget dengan nama "Febriana".
"Kayaknya gue beneran suka dia deh." Dimas tersenyum sendiri sambil menghadap langit seolah terdapat bayangan cewek itu di angkasa.
"Terus?" Rama menaiki motornya lalu memasangkan helm.
"Bantuin gue kek deket sama dia."
Dimas berganti posisi menjadi menghadap Rama. Sesaat kemudian, matanya melebar ketika dilihatnya di belakang Rama tampak seorang cewek yang baru saja dibicarakannya berlari ke arah mereka berdua.
Rama yang memperhatikan ke mana sorot mata Dimas pun ikut menoleh ke belakang. Cewek itu, Febriana, tengah berlari dan sepertinya menuju kemari.
"Kak."
"Hai." Dimas tersenyum pada Febri.
Febriana terengah-engah sambil memegang lututnya yang terasa nyeri karena mengejar Rama dan Dimas yang jalannya super cepat. Febri tersenyum ke arah Dimas, oknum yang membuat Febri pingsan di tribun saat itu.
"Ada apa, Feb? Nyariin gue?" Dimas memulai candanya.
Febri tidak menghiraukan candaan Dimas melainkan langsung merogoh sakunya dan mengambil uang lembaran lima puluhan. Cewek itu menyodorkan pada Rama.
"Buat?"
"K-kan kemarin saya utang," jawab Febri kembali gerogi. Entah kenapa tiap kali berada di dekat Rama, ia tidak bisa bersikap biasa, beda sekali bila di samping Dimas. Rasanya biasa saja.
Rama mengambil uang tersebut dan mengangguk tanda terima kasih. Febri ikut mengangguk sambil menggaruk tengkuknya.
"Lo pulang sama siapa?" tanya Dimas berharap cewek itu dapat ia antarkan sebagai modus awalnya agar bisa dekat dengan Febri.
"Harusnya, sih, sama Erina, tapi dia tadi ada rapat OSIS buat pensi."
Dimas langsung menoleh ke arah Rama yang tidak ikut bergabung dengan pembicaraan Febri dan Dimas. "Ada rapat lo, Ram. Kita nggak ikut beneran nggak pa-pa?"
Rama mengangguk, lalu menyalakan mesin motornya. "Gue udah ijin sama Varo. Senior bolos nggak pa-pa, junior wajib hadir."
"Lah, kan gue junior," tunjuk Dimas pada dirinya sendiri.
"Lo temen gue, yok cabut."
Rama lebih dulu meninggalkan Dimas yang tertawa bahagia bisa ikut bolos rapat dan bisa berduaan dengan Febri. Dalam hati, cowok itu bersyukur bahwa Rama mau membantunya untuk dekat dengan cewek ini.
Dan semoga kesampaian.
***
Semua orang tahu, lebih tepatnya senior dan beberapa junior tahu apa yang sangat disukainya. Bahkan hal ini sudah menjadi sebuah kegiatan primer yang wajib dilakukannya. Alasannya sih, buat cari jati diri.
Nggak cowok namanya kalo nggak daki
Poster di kamar itu dibuatnya beberapa tahun yang lalu dan sekarang sudah menjadi prinsip dirinya. Ya, Rama suka mendaki. Beberapa gunung di Jawa Timur sudah pernah didakinya.
Gunung Penanggungan, salah satu contohnya. Gunung ini berada 55 kilometer dari Surabaya ke arah dua kabupaten, Mojokerto dan Pasuruan. Puncak gunung ini sudah pernah ditaklukannya bersama kawan pendakinya yang tak lain juga teman sekelasnya.
Tsania namanya. Satu-satunya cewek yang ikut mendaki di antara Naufal dan Dimas. Tapi, hal itu nggak jadi masalah. Toh, mereka saling percaya satu dengan yang lain.