Cewek itu berjalan di antara rak-rak buku, diikuti oleh seorang cowok di belakangnya dengan raut bosan. Sedari tadi ia terus menguap mengikuti Febri yang terus berputar antar rak satu ke rak lainnya.
“Lo duluan aja nggak pa-pa, Dim,” kata Febri membuat Dimas tersadar dan langsung kembali menegakkan tubuhnya. Sok strong.
“Enggak, gue juga suka baca buku, kok,” cengir Dimas sambil menggaruk kepalanya.
“Buku apa?”
Waduh. Sejujurnya Dimas bukan kutu buku banget. Sok aja biar keliahatan keren di depan Febri. Image harus selalu dijaga, dong. Tapi permasalahannya, buku apa yang Dimas suka? Conan? Shinchan? Donal bebek? Yah, itu kan komik.
Sekali pun itu komik, Dimas juga bakalan bingung bagaimana cara bacanya. Sering sekali Dimas terbalik saat membaca komik. Dari kiri ke kanan lalu turun dari kanan ke kiri. Ceritanya jadi nggak nyambung.
Dimas melirik buku yang digenggam Febri. Khalil Gibran.
“Ah ya, Khalil Gibran,” jawab Dimas mantap.
Febri tersenyum. “Suka yang mana?”
Alamak. Kapok, deh. Dimas harus jawab apa? Mau ngarang apa coba? Setahunya Khalil Gibran itu pencipta puisi, itu pun dia tahu karena nggak sengaja nemuin iklan waktu main game online. Aneh banget, kan?
“Yang puisi.”
“Iya, puisi yang mana?” tanya Febri.
Dimas mulai gelagapan. Puisi apaan, sih, yang diciptain Gibran?
“Oh itu, yang judulnya Aku,” jawab Dimas asal-asalan. Febri membulatkan mata lalu seketika tawanya meledak.
“Setahu gue itu puisinya Chairil Anwar, Dim.”
Dimas memasang wajah bego. Ia pasrah. Pencitraannya gagal total. Abis udah!
Febri membayar bukunya lalu keluar dari toko buku. Dimas bisa bernapas lega. Setidaknya kini ia bisa melihat pemandangan lain selain buku. Bisa-bisa penyakit bibliopobia-nya kambuh lagi.
Febri duduk di belakang Dimas. Ia menaruh tangannya di antara pahanya agar tidak bersentuhan dengan punggung di depannya. Lalu motor itu melaju kencang membuat Febri mengucapkan doa dalam hatinya.
Sudah hampir dua jam Febri keluar bersama Dimas. Dan hampir beberapa menit jantung Febri dibuat jantungan oleh Dimas. Kenapa? Karena cowok itu kalo naik motor suka ngebut. Udah ngebut, ngepot lagi. Duh, cukup deh sekali ini aja.
Febri meletakkan tasnya di pinggir meja belajar. Lalu cewek itu rebahan sambil membuka handphone-nya. Ada banyak banget notif Line, Instagram, dan Wattpad. Langsung saja di bukanya applikasi Line.
Cewek itu fokus pada sederetan pesan promosi dari Line. Nggak ada yang penting. Cuma penuh-penuhin notif aja. Lalu di jejeran paling bawah ada chat dari Erina.
Erina sent a contact
Febri penasaran. Seingatnya dia tidak meminta kontak siapa pun pada Erina. Langsung saja cewek itu membuka isi chatnya.
Rama Zidane
Gila. Febri langsung mengakhiri rebahannya dan duduk terpaku. Tatapannya jadi lebih serius membaca nama kontak yang tertera di ponselnya. Dia menggeleng-geleng sambil membalas chat Erina.
Febri: Apaan nih, Rin?
Tak lama Erina langsung membalas pesan Febri sambil tertawa-tawa sendiri. Dia suka melihat Febri bingung semaunya, alias salting kalau mendengar nama kakak kelas itu.
Erina: Ya itu kontak kakak kelas yang lo suka.
Febri membaca chat Erina dengan mata menyipit. Dengan sebal dibalasnya lagi chat Erina.
Febri: Ih, kata siapa?
Erina terkekeh lagi. Menggoda Febri itu kesenangan tersendiri buat Erina.
Erina: Oh iya, lupa. Lo kan sama Dimas.
Hah? Febri sebal dan dimatikan handphone-nya. Cewek itu kembali rebahan. Menutupi wajahnya dengan lengan alias tengkurap. Mata cewek itu bergerak ke samping, menyiratkan bahwa Febri sedang berpikir.
“Kak Rama, kan, fans-nya banyak. Ideal, bibir tipis, tinggi, kulit putih, duh perfect banget! Lah, sedangkan gue? Ya gak mungkinlah gue bisa sama dia,” gumam Febri melantur ke mana-mana.