Untuk sesaat, aku menoleh ke belakang. Jalanan terjal dan berkelok yang kulewati bersama taksi online sejak beberapa menit lalu hanya menyisakan kerikil tajam dan putih salju di sela-sela bebatuan. Jika saja tidak ada serbuan pohon cemara di sisi kiri kanan, jalanan ini lebih mirip sungai mati. Memang agak kurang menarik untuk berada di wilayah kaki bukit Skotlandia di pertengahan musim dingin seperti ini.
Koper yang kuseret paksa terasa lebih ringan ketika sampai di jalanan berpaving. Aroma lembab basah karena gerimis menguar. Jalanan dengan lumut basah yang jika sepatu boots mocca-ku meleset sedikit saja, sudah tentu akan menjadi masalah besar.
Tidak ada yang menarik di tempat ini, kecuali suara burung. Bahkan biru langit hanya mengintip di antara pepohonan beranting tanpa daun. Lumut-lumut tumbuh subur di akar dan ranting basah. Menciptakan hamparan hijau-kebiruan. Sangat kontras dengan warna kulitku. Putih tanpa pigmen. Aku sudah seperti peri hutan atau lebih mirip manusia salju.
Aku penderita albinisme. Seluruh rambut di tubuhku berwarna putih, rambut kepala, alis, dan bahkan bulu mata. Akan sangat berbahaya jika aku berlama-lama berada di bawah matahari. Untuk melindungi kepala, selain selalu mengenakan topi baret, aku juga memiliki poni lurus mencapai alis. Rambutku juga selalu terurai. Memanjang satu jengkal melewati bahu. Menggunakan perlengkapan pelindung seperti sarung tangan, stocking, syawl, coat dan payung. Ya, mengenakan kostum musim dingin di semua musim.
Selama perjalanan, aku lebih suka memandang domba-domba dengan bulu wol-nya, karena orang-orang memandangku aneh. Kulirik mereka dari balik syawl yang menutup separuh wajahku. Poni dan bulu mata putih lebat sudah cukup mengidentifikasi bahwa aku penderita albinisme.
Setiap manusia memang memiliki ciri fisik yang unik. Termasuk aku. Apalagi di daratan Skotlandia ini, satu-satunya ras di dunia yang memiliki warna rambut merah paling banyak; merah menyolok, merah pucat, merah-kecoklatan, cokelat, dan pirang. Belum lagi warna mata yang juga berbeda-beda. Aku suka perbedaan, tapi tidak dengan diskriminasi. Aku juga suka keunikan, tentunya tanpa sinisnya tatapan.
Setelah melewati dua rumah pertama yang menghadap jalanan utama, aku berbelok kiri. Hanya ada satu jalan masuk di sana. Memiliki lebar kurang lebih empat meter, yang tampak sering dilewati sebuah mobil. Kata Nyonya Keith, aku akan menempati rumah paling ujung di perumahan ini. Rumah ke-8 dari delapan rumah yang ada, dan rumah ke-2 dari dua rumah yang berpenghuni. Aku tak suka kesunyian.
Dari belokan pertama kudapati dua rumah saling berhadapan, jalanan ini memaksa kakiku berbelok ke kanan, dan barulah kulihat keempat rumah berjajar di sebelah kananku menghadap sebuah bukit landai, berlapis rumput yang kehijauan dengan bercak putih salju tak beraturan. Keempat bangunan itu dikelilingi pagar tembok yang tidak terlalu tinggi dan lagi-lagi berlumut. Lokasinya agak tinggi dari rumah-rumah sebelumnya. Sehingga untuk menuju pintu gerbang, harus menapaki empat anak tangga.
Langkahku terhenti saat suara roda lain selain koper tertangkap telingaku. Tanpa menoleh, kulirikkan mata ke arah kanan. Oh astaga! dari balik pagar besi, seorang perempuan duduk di kursi roda dan berambut sedikit berantakan sedang menatapku tajam. Wajahnya tampak ngeri karena ia seperti hampir tak memiliki alis. Matanya cekung, rambutnya merah-kecoklatan dan bergelombang. Tampak salah satu kakinya adalah kaki palsu. Ia masih menatapku tajam ketika aku mengerjap beberapa kali. Dari jarak ini, bisa saja aku berlari, hanya saja lumut ini terlalu licin untuk dilewati.
"Jangan takut!" katanya. Suaranya lembut, sedikit serak.
Aku memberanikan diri melirik lagi, dan dia tersenyum. Auranya berubah seketika. Cantik.
Aku memberi salam. Poni rambutku ikut jatuh ketika menundukkan kepala. Beginilah seharusnya aku memberikan sapaan hangat pada tetangga baru. "Aku Maidy, senang bertemu denganmu. Aku akan menjadi tetanggamu. Mohon bantuannya!"
Hening. Dia tidak menjawabku. Aku baru sadar ketika mulai mengangkat wajah dan kulihat seorang laki-laki berambut putih sudah memegang kendali kursi roda, membawa perempuan itu masuk. Membelakangiku. Mengeyahkan salamku. Sambutan yang benar-benar bagus. Kulanjutkan langkahku, daripada mati kutu.
Kurang satu rumah lagi aku sampai. Aku melirik rumah paling ujung. Untunglah terlihat terawat. Baru ditinggalkan empat bulan yang lalu oleh seorang peneliti, Nyonya Keith bilang. Rumah-rumah di sini memang diperuntukkan sebagai tempat singgahan. Bukan tempat tinggal tetap. Rencananya, aku juga akan meninggalinya selama satu tahun ke depan. Sampai aku menyelesaikan program mengajar di daerah ini.
Suara tikus berlarian terdengar di berbagai sudut ketika ku mulai membuka pintu utama. It's ok, ternyata tidak sebersih harapanku. Bau kencing tikus beradu dengan amis yang entah darimana berasal. Menusuk sekali. Sampai-sampai aku ingin bernapas lewat mulut saja. Terdengar bunyi derit berulangkali yang berasal dari jendela dapur. Aku berjalan menuju dapur, dan benar saja engselnya berkarat, knip kuncinya tak lagi berfungsi. Benar-benar sempurna untuk memulai hidup di sini.
Aku merebah di kasur berdebu. Meraih ponsel dari slingbag lalu kutelepon Nyonya Keith. Dia bilang, ingin mendengar suaraku begitu aku sampai di sini.
"Ya. Aku menyukainya Nyonya."
"Kau masih tak sudi memanggilku mama?" Ia menjawab dengan lengkingan sopran suaranya.
Aku tertawa. "Aku mengerti. Aku hanya meledekmu."
"Jadi kau sudah sampai?"
"Ya. Cukup mengejutkan. Aku suka dengan langitnya. Tapi sangat kurang nyaman dengan sunyinya. Aku butuh teman, kumohon kirimkan untukku!"
"Jangan bercanda! Rapikan kamarmu! Jika kau perlu sesuatu, telepon mama."
"Ok. Bye."