Ketka terbangun di sebuah kamar, tubuhku masih lunglai dan yang kurasakan hanya kelelahan yang teramat sangat. Bola mataku terasa perih ketika mencoba mengerjap, aku masih bingung dengan apa yang terjadi dan kenapa aku bisa ada di kamar ini.
Sinar matahari mulai menyelinap melalui kaca jendela dan menyorot ruangan tembok bercat putih. Kutarik napas dalam, mencoba mengingat kejadian yang kualami kemarin malam. Rasa mual menyelimutiku, mendadak seluruh tubuhku merinding, dikuasai rasa cemas dan paranoid. Terlalu pening untuk memulai pertanyaan yang kini memenuhi otakku, di mana aku sekarang? Ruang penyekapan?
Aku bangkit dari kasur dan kupandangi sekeliling kamar, aku berjalan jinjit agar tidak menimbulkan suara. Tapi kamar ini sangat rapi, aku terkejut bahwa sudah ada teh melati dan beberapa cookies terhidang di meja sebelah kasur. Barang-barang belanjaanku pun utuh di sampingnya. Sungguh aneh kamar ini, bukan seperti bayanganku akan kamar penyekapan. Tanpa berpikir panjang kuputuskan untuk menarik handle pintu pelan.
Kepalaku melongok ke arah luar, kamar ini berada di ujung lorong. Lantainya terbuat dari pallet kayu ek dan sangat bersih. Beberapa frame lukisan bergantung di sepanjang dinding lorong. Di ujung lorong lain ada pintu bercat putih bersih, aku tak yakin bahwa pintu itu adalah jalan keluar, yang kutakutkan ketika membukanya aku malah bertemu dengan sang monster.
Aku berjalan perlahan dan membuka pintu itu dengan hati-hati.
"Hah? kau...?"
Aku terkejut bukan main ketika teriakan pria di hadapanku itu memekak telinga begitu aku membuka pintu. Jika saja tanganku tak berpegang pada handle pintu, aku sudah pasti terjatuh.
"Kau sudah bangun? bagaimana tidurmu?" tanyanya tanpa memberiku kesempatan mengenali wajahnya.
Sekilas kulihat ia bermuka dingin, matanya sinis dan yang paling kukesalkan adalah ia memalingkan wajah setelah bicara.
"Kau salah," katanya. "Di sini ada dua jalan, salah satunya berpintu. Jika mencari jalan keluar, seharusnya kau pilih yang tanpa pintu. Itu yang akan menghubungkanmu ke ruang lain," lanjutnya sambil mengambil alih handle pintu dan menutupnya dari luar.
Sementara aku mematung, ia membalikkan tubuh dan tanpa permisi mendekatkan wajahnya sambil menatapku dengan jarak yang sangat dekat. Terlalu dekat hingga aku bisa merasakan napasnya di wajahku.
"Mata yang indah," gumamnya.
Tatapannya lalu turun ke bibirku. "Bibirmu merah, sangat cocok dengan kulit pucatmu."
Tidak sopan sama sekali!
"Aku belum pernah melihat perempuan sepertimu. Perempuan yang kukenal hanya nenek dan kakakku, tapi sayangnya kau seperti mayat ketika tidur."
Ia menegakkan wajah dan menarik salah satu sudut mulutnya, membentuk senyum paksa, yang kubalas dengan tatapan tajam. Tak nyaman.
"Apa ia sudah bangun? Hei rumahmu gelap!" Terdengar suara wanita dari arah lain, sontak si pria itu beranjak dan menuju arah suara tersebut. Lega rasanya ia tak lagi berada di dekatku.
"Kami khawatir dan mencoba mencarimu, kami menemukanmu tertidur di jalan." Lanjut wanita itu, wanita yang kulihat kemarin duduk di kursi roda. Oh, jadi si pria tadi adalah pria yang kemarin memegang kendali kursi roda wanita itu. Aku mengangguk mengerti. Apa dia selalu membuat perkenalan yang berantakan?
Pria itu membawanya ke tengah ruangan, wanita itu mempersilakanku duduk. Wajahnya sangat cantik dibalik rambut merah dan wajah dinginnya.
"Kau kelelahan? Sepertinya kau belum makan apapun sehingga kau pingsan," lanjutnya.
Ingatanku langsung tertuju adegan semalam. Aku belum bisa bicara apapun, hanya terdiam bingung.
Wanita itu lalu tersenyum dan menatapku, ia mengalihkan pandangannya pada pria di sampingnya dan menghela napas. "Shane, bisa kau ambilkan aku pancake yang baru kumasak dan buatkan kami kopi?"
Oh... jadi namanya Shane?
"Ah maafkan aku, sungguh tidak sopan. Namaku Louisa dan Shane adalah adikku, senang bertemu denganmu." Ia mengulurkan tangannya padaku.