Aku merapikan alat tulis ketika Anna dan Kyla memulai canda. Dua manusia unik lagi-lagi muncul di hari ketigaku di sini. Keduanya seorang guru di hadapan siswanya, sekaligus badut di hadapanku. Aku berkali mengikik melihat tingkah mereka. Tapi aku lebih nyaman, perlakuan mereka terhadapku sama seperti perlakuan mereka terhadap guru lama.
"Apa dia menerimanya?" tanya Kyla setengah berbisik.
Sementara Anna mengangkat kedua bahunya.
"Kau jangan membuatku malu Anna."
"Seharusnyakau tanyakan dulu padaku."
"Lalu kau mau bantu?"
"Jangan berharap!"
"Anna...!!!"
Sedetik kemudian tanpa komando keduanya diam, duduk sigap. Peralihan yang sangat cepat. Ternyata yang mereka bicarakan datang. Gavin, guru olahraga yang membuat Kyla berulang kali memoles lip matte-nya, yang membuat Anna seringkali salah tingkah. Yang sedang kutanyakan bukan tentang Gavin, tapi Kyla dan Anna. Mereka saling membantu atau sedang bersaing? Ada-ada saja.
Meja kerja Gavin berada di depan Anna, berdampingan dengan Kyla, dan aku berada di samping Anna. Untuk melihat Gavin, aku butuh mendongak. Karena terdapat papan kayu sekat di sekelilingku. Lalu, apa memang perlu aku melihatnya? Tapi aku memang penasaran. Sejak aku duduk di sini, Gavin belum masuk ruang. Dua hari sebelumnya ia juga tidak masuk. Aku perlu konfirmasi, bagaimana wajah Gavin? Ah tidak-tidak. Terlalu memalukan.
"Jadi kau sudah menerimanya?" Suara Kyla terdengar riang.
"Ya," jawab Gavin pendek. Lalu ia keluar ruangan dengan santai.
"Auch!!!" Aku menengok Anna, dan kudapati ia mengelus jidatnya. Sepertinya ia baru menjatuhkan dahinya ke meja.
"Maidy!" Anna bicara berbisik. Di atas meja, ia memiringkan kepalanya ke arahku. Lalu aku melakukan hal sama sepertinya.
"Aku gagal."
Gadis di hadapanku itu tampak kecewa.
"Jadi, Gavin memilih Kyla?" tanyaku.
"Jangan!" Teriak Anna mengangkat wajah tanpa sadar. Detik itu pula ia menjatuhkan dahinya lagi ke meja. Sebenarnya apa yang sedang dilakukannya?
"Tak apa, aku pernah merasakan hal serupa dengan Kyla."
"Aku mengangkat alis, kau pernah jadi kekasih Gavin?"
"Kau bicara apa? aku pernah memberinya ikat pinggang dan Gavin menerimanya. Kyla barusan memberi Gavin sepatu, dan Gavin menerimanya. Itu saja."
Jadi maksud Anna, sangat tidak mudah memberi hadiah pada Gavin? Ada apa dengan mereka berdua? Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Jadi kau akan mendukung aku atau Kyla?"
Aku melotot, apa masih diteruskan? konyol.
"Kau pasti mendukungku kan?"
Aku merogoh tasku untuk mengambil bekal makanan. Aku akan makan siang dengan Peanut butter sandwich dan matcha latte.
"Maidy...! Kau sedang tidak mengacuhkanku kan?"
Aku terdiam dan terus merogoh tasku. Sialnya, aku lupa membawa matcha latte-ku hari ini.
"Maidy!!!" Akhirnya Anna berteriak.
Dia tidak marah. Melihat wajahnya aku bahkan ingin tertawa. "Aku tidak mendukung kalian berdua. Aku sendiri yang akan mendapatkannya," kataku tenang.
Anna melotot, kedua matanya serasa hampir keluar. Aku mengangkat kepala, duduk tegak, sedikit tersenyum lalu meraih tas dan beranjak pergi. Ingin rasanya menyayangkan kekonyolan mereka berdua, tapi ini membuatku sangat terhibur. Jadi mungkin akan seru memulai persaingan ini.
"Kau jangan membuatku cemas!" Teriak Anna.
Aku keluar ruangan sambil menggeleng kepala heran. Sejak hari pertamaku, mengajar tidak lebih mengesankan dari penampilan Anna dan Kyla. Mereka membuatku berpikir waras. Meyakinkan diri, bahwa aku masih hidup di bumi, yang berisi manusia normal, meskipun aneh.
Kusegerakan langkah agar tidak lama sampai ke kantin. Bisa kubayangkan berdesakan menunggu antrian di sana bersama para siswa. Aku tidak tahan dengan gesekan pada kulitku. Seperti biasa, aku akan menutupkan hoody jaket putihku sebelum berjalan. Lalu membayangkan matcha latte hangat mengalir ke tenggorokanku. Tanpa sadar sebuah tanjakan kecil menyandung kakiku, dan membuat tubuhku kehilangan keseimbangan. Yang kurasakan hanya seperti melayang sebelum seseorang menarik lenganku cepat. Aku tidak jadi terjatuh.
Kubuka hoody-ku.
"Hati-hati nona."
Aku mendongak. Kulihat dia. Sedang tersenyum.