Hari ini beberapa murid tidak bersekolah. Kata Gavin para orang tua mereka takut untuk memberangkatkan anaknya ke sekolah. Ada penemuan mayat semalam, di dekat danau tak jauh dari tempat di mana aku, Louisa dan Shane berada.
Belum diketahui pria atau wanita. Organ dalamnya tidak ditemukan. Tak ada satu pun bulu ataupun rambut di tubuhnya, seluruhnya sudah dicukur habis. Terlebih lagi, mayatnya sangat bersih seperti habis dicuci. Sungguh sebuah teror yang mencekam untuk kota sekecil ini.
Semua headline surat kabar hari ini dipenuhi foto sang mayat yang disensor. Seluruh berita di radio juga tv lokal menampilkan hal yang sama. Sungguh mood swing yang sangat membuat hari berantakan. Padahal malam itu kami bersenang-senang sampai Louisa memanggil Shane. Kurang lebih hanya setengah jam setelah Shane meninggalkanku di mobil. Shane juga diam seribu bahasa begitu naik mobil. Ia hanya menawariku menginap begitu kami sampai di rumah. Louisa? Aku sama sekali tak mendengar suara Louisa. Aku juga tak dapat melihat, apa ia ikut naik mobil ketika kami kembali.
"Jangan khawatir tentang apapun, tidurlah dengan nyenyak." Hanya itu pesan Shane padaku ketika ia mengantarku ke kamar. Aku masih tak berani membuka mata. Di mana Louisa? Kenapa Shane yang mengantarku ke kamar? Pertanyaan itu kutelan begitu saja ketika kudengar Shane menutup pintu kamar keras.
Paginya, mataku merasa baikan dan langsung berpamitan pada Shane. Lagi-lagi Louisa tak tampak. Di depan rumahku sudah ada koran dengan headline yang mengerikan. Aku berangkat kerja dengan perasaan ngeri. Di kelasku hanya ada tiga anak yang masuk.
"Bukankah ini danau di sekitar kamu tinggal?"
Pertanyaan Gavin membuyarkan lamunanku.
"Semalam kau di mana?"
Aku mengerjap beberapa kali. Mataku masih agak nyeri. Tapi pertanyaan Gavin lebih nyeri ku dengar. Semalam aku berada di tempat di mana aku tak bisa melihat semuanya selain langit.
"Maidy? Kau mendengarku?"
"Ya Gav. Tapi aku rasa aku tak tahu apapun. Aku hanya tidur dengan nyenyak." Aku menjawab Gavin dengan tatapan kosong, suaraku sedikit bergetar.
Bagaimana dengan Louisa? Korban pembunuhan yang dimaksud bukan Louisa kan? Tidak-tidak, jika itu Louisa, aku yakin Shane tidak setenang itu semalam. Ia pasti sudah meninggalkanku di sana. Tapi jika benar, bagaimana? Aku baru saja memberi kepingan kepercayaan pada perempuan bersenyum manis itu.
"Berhati-hatilah mulai sekarang," tambah Gavin.
Aku menelan ludah.
***
Empat hari berlalu, sekolah sepi. Masih hanya tiga anak yang masuk, tentu saja didampingi orang tuanya. Kyla dan Anna sudah tidak masuk sejak hari pertama berita itu muncul. Kepala sekolah bahkan memberi kami -para guru- dan siswanya kebebasan untuk sementara izin tidak masuk karena suasana masih tidak kondusif. Tapi aku tak ingin mengecewakan anak-anak yang datang. Aku memutuskan untuk tetap masuk meskipun sangat merepotkan Gavin untuk menjemput dan mengantarku pulang. Katanya, ia khawatir jika aku harus jalan sendirian, sementara aku juga cukup keras kepala untuk tetap masuk.
Empat hari ini pula aku tak bertemu Shane dan Louisa. Kedua manusia itu seperti hilang di telan bumi. Mengherankan juga jika penyidikan polisi sama sekali tak menyentuh namaku ataupun Shane dan Louisa. Tempat tinggal kami adalah jarak terdekat dengan danau tempat pembunuhan keji itu terjadi.
Gavin melirikku dari kaca mobil ketika aku membenarkan poni rambut.