Kami tiba. Gavin tak banyak bicara ketika tahu aku tinggal di panti asuhan. Ia terlihat kaget tapi tetap tenang. Mungkin karena ia seorang guru, profesi yang mengharuskan paham tentang banyaknya latar belakang anak didik.
Aku sungguh rindu tempat ini. Bangunannya tidak terlalu besar, tetapi halamannya cukup luas. Ada sebuah pohok ek di sudut kanan, dengan ayunan di bawahnya. Pagar yang terbuat dari kayu setinggi setengah badan mengelilingi rumah. Rerumputan tipis melapisi hampir semua tanah.
Dari tempatku berdiri, aku melihat si kembar menatap kami lalu berlari cepat dan memanggil namaku.
"Maidy!" teriak salah seorang anak yang membuat anak-anak lainnya menoleh bersamaan.
Dua anak kembar berlari ke arah kami. Alyn dan Ashleen memang menggemaskan. Usianya hampir tujuh tahun. Bila dilihat dari jauh mereka memang seperti tidak ada bedanya. Sama-sama bergigi kelinci dengan pipi yang chubby dan potongan rambut panjang dengan poni lurus. Bila sudah terbiasa maka akan terlihat perbedaan yang mencolok di antara mereka. Alyn memiliki rambut pirang terang. Sedangkan Ashleen memiliki rambut pirang yang sedikit gelap. Kedua mata Ashleen berwarna hijau terang, sementara Alyn memiliki mata biru terang.
Mereka bersamaan memelukku, aku sampai terjatuh karenanya.
Gavin menghampiri kami dan mengulurkan tangannya untukku. Aku kembali berdiri dan membersihkan tubuhku dari debu. Alyn dan Ashleen tampak malu-malu saat Gavin memperkenalkan diri. Gavin lalu bergegas kembali ke mobil dan membawa sekantung besar tas berisi roti manis. Ia kembali menghadap Alyn dan Ashleen, kali ini ia menyodorkan dua roti manis berisikan strawberry cream. Ia menggoda Alyn dan Ashleen dengan memainkan roti tersebut di tangannya sebelum kemudian berjongkok dan memberikan dua roti itu dengan manis.
Tak perlu waktu lama bagi Gavin untuk merayu dua bocah itu. Dengan satu permintaan saja, Alyn dan Ashleen sudah berada di kedua lengan Gavin. Kami lalu berjalan bersama-sama menuju ke dalam.
Kondisi panti asuhan tak jauh berbeda sejak kutinggalkan. Tetap ramai dengan tingkah laku anak-anaknya. Tampak beberapa wajah baru disini. Beberapa anak-anak lama menghampiri dan memelukku. Ada juga beberapa voulenteer dari sekolah menengah sedang membereskan mainan yang berserakan.
Aku dan Gavin lalu membagikan roti yang kami bawa. Suasana yang awalnya sangat riuh berubah menjadi suasana tenang. Aku dan Gavin lalu menuju ruang tengah. Setelah mempersilakan Gavin duduk, kucari mama di dapur. Tapi tidak ada. Beberapa adikku mengatakan kalau mama berada di kebun belakang.
Aku berlari ke sana, dan tampak sosok yang sangat aku rindukan sedang merapikan alat-alat berkebunnya. Kaus lengan panjang berwarna karamel, celana jeans dan sepatu boots karet berwarna hijau.
"Mama!" teriakku.
Ia menoleh dan tersenyum. Ia rentangkan tangannya lebar. Memberiku kode untuk memeluknya. Aku berlari dan menyergapnya. Kupeluk ia sangat erat. Ku ciumi pipinya. Ia tertawa bahagia sekali.
"Setidaknya sekarang biarkan mama berganti pakaian dulu. Mama sangat bau."
"Tidak bagiku ma!"
Aku membantunya membawa beberapa selada yang baru ia panen. Ia menuju ruangan dekat dapur untuk berganti baju. Aku sendiri memberikan selada-selada itu kepada adik-adikku di dapur. Dapur dan ruang makan menjadi satu. Bagian untuk ruang makan lebih besar. Bahkan bila tidak ada meja di sini, ruangan ini bisa dipakai untuk bermain futsal.
Tidak ada jendela di ruang makan kami. Hanya ada lampu besar yang menggantung di tengah ruangan. Bila terjadi pemadaman listrik, kami akan gelap-gelapan. Bahkan di siang hari yang cerah, bila sedang memasak, lampu itu akan dinyalakan. Memang ruang makan kami tidak cukup baik, tapi setidaknya dapat menampung semua adik-adikku di panti asuhan.