Lorong ruang gawat darurat terasa dingin. Tubuhku kaku dan lemas. Aku hanya duduk mematung dan memandang lantai. Tak kuhiraukan apapun yang ada di sekitarku. Bahkan aku tak memikirkan keadaan adik-adikku di panti asuhan. Terakhir yang kuingat hanya Gavin yang menghubungi rumah sakit dan teriakan histeris semua anak-anak. Tak lama setelah itu ambulans datang dan menjemput kami.
Tanganku terus memegang leher mama dengan luka tusuk cukup dalam. Bajuku tak lagi rapi. Lebih seperti penampilan korban dalam film jigsaw. Saat mama sudah masuk dalam ruangan ICU aku hanya bisa berteriak dan menangis. Gavin menarikku dan menenangkanku sekuat tenaga. Sampai sekarang aku masih belum mendapatkan informasi apapun tentang mama. Sudah lebih dari lima jam aku menunggu. Gavin masih pergi untuk mengurus kejadian ini ke polisi.
Aku terus menerus memikirkan hal ini. Mengapa semua hal ini terjadi kepadaku? Aku terus mengutuk Shane. Ia memang monster. Aku akan mencabik-cabiknya ketika ia pulang nanti. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakiti mama. Akan kugorok leher Shane dengan tanganku sendiri. Sama halnya dengan yang ia lakukan kepada mama. Akan kulakukan tepat di depan Louisa. Pasti kunikmati tiap teriakan yang ia muntahkan.
Setelah membunuh Shane, akan kuhempaskan Louisa dari lantai atas rumahnya. Ku buat skenario kalau Shane yang membunuh Louisa. Tentu tak akan ada yang curiga. Mereka tidak pernah bersosialisasi dengan orang lain. Aku akan menyambut mereka ketika mereka pulang nanti dengan sangat ramah. Louisa pasti akan membaca pikiranku dari jarak dekat. Jadi aku harus mewaspadai hal ini.
"MAI!!!"
Aku tersadar dari lamunan jahatku. Gavin sudah duduk di sampingku dengan tatapan heran. Ada dua buah kantung plastik di tangannya. Aku masih menerawang seolah tak mengetahui apa yang sedang terjadi. Aku bertanya-tanya dalam hatiku, kenapa Gavin bisa ada di sini dengan dua buah kantung plastik di tangannya?
"Mai kau belum makan apapun. Kau hanya makan sarapanmu. Itu pun sudah lebih dari sembilan jam yang lalu."
Aku masih memandanginya. Kesadaranku perlahan-lahan kembali. Ia memberiku tatapan yang amat sangat menyedihkan. Seolah ia sedang memungut anak kucing lusuh di pinggir jalan.
"Kubawakan kau Cheeseburger dan teh kalengan. Maaf aku tak menemukan Matcha latte. Aku membelikanmu kaus dan celana juga peralatan mandi. Lebih baik jika kau membersihkan dirimu setelah makan."
Aku mengangguk pelan. Gavin benar-benar perhatian padaku. Aku mengambil Cheeseburger-ku dan menggigitnya perlahan. Setiap kunyahan yang kulakukan air mataku ikut mengalir. Terbesit dalam pikiranku bila mama tak terselamatkan. Siapa lagi yang akan peduli padaku? Aku terlahir tanpa orang tua ataupun saudara. Hanya ada mama selama ini yang memperhatikanku. Lalu aku harus ke mana setelah ini? Bagaimana jadinya hidupku tanpa mama?
Air mataku tumpah. Aku menangis sejadi-jadinya. Kebaikan Gavin membuatku mengasihani diriku sendiri. Cheeseburger yang kunikmati tadi tak lagi ada rasanya. Gavin meraih kepalaku dan didekapkan ke dadanya. Aku menangis sambil menggenggam erat sweater milik Gavin. "Bila hal buruk terjadi, aku yang akan mengurusmu. Tapi aku yakin mamamu masih hidup," bisiknya pelan, kalimatnya amat menenangkan.
Aku terkejut dengan suara pintu ruangan yang terbuka. Terlihat seorang perawat dengan pakaian biru muda sedang meninjau kertas di papan alas.
"Nona Maidy?" Tanya perawat itu padaku.
"Ya. Bagaimana keadaan mama?" tanyaku gelisah.
"Nyonya Keith sudah dalam kondisi stabil. Ia kehabisan banyak sekali darah. Saat ini beliau kami berikan ruangan khusus. Maaf mungkin selama beberapa hari ke depan beliau tidak akan bisa dijenguk. Ruangan beliau penuh dengan kabel dan selang untuk transfuse. Beberapa urat nadi dan saraf beliau harus kami bantu kinerjanya dengan alat-alat khusus agar kondisi beliau tetap stabil."
"Itu artinya aku tak bisa berada di sampingnya?"
"Ya nona kami akan menghubungimu ketika alat-alat tersebut kami lepas."
"Butuh waktu berapa lama sampai hal itu kalian lakukan?" Tanya Gavin.
"Mungkin butuh waktu sekitar lima hari."
Aku menangis lagi dan tersungkur di lantai. Gavin memapahku untuk duduk di kursi.
Perawat meminta maaf dan terus menenangkanku. Aku berusaha sekuat tenaga menghentikan tangisku. Gavin memberikanku minuman yang tadi dibelinya. Aku menolaknya dengan kasar. Dalam kondisi frustasi yang tak bisa dibendung, pandanganku sangat gelap, aku tak ingat apapun lagi.
***