Aku segera menarik Anna dan Kyla menjauh dari pintu. Wajah mereka berubah tegang. Terdengar suara riuh panik dari arah luar pintu. Aku membuka pintu perlahan dan mengintip keluar. Asap tebal sudah menyelubungi sekeliling ruangan. Kami menyelinap pelan-pelan dan menutupi hidungku dengan jaket hoodie yang diberikan Shane.
Aku mendengar sayup-sayup suara jeritan orang-orang dari kepulan asap. Kami percepat langkah agar sampai ke lorong sekolah. Dan tiba-tiba sekali lagi hal yang tidak terduga terjadi.
BOOMMMBOOOOOOMMMMM!!!
Beberapa ruangan meledak secara bergantian. Kami berpelukan dan tersungkur ke lantai. Api berkobar-kobar dan menjilat tembok. Anna dan Kyla berteriak sambil berlari. Kami mulai menangis dan terus berlari. Aku mengarah ke lapangan basket di belakang sekolah. Aku berpikir itu satu-satunya tempat aman yang bisa kujangkau. Napasku sudah dipenuhi asap saat ini.
Kyla terjatuh saat kami berbelok menuju lapangan. Napasnya terengah-engah. Anna dan aku mengangkatnya agar cepat sampai ke sana. Seperti dugaanku, lapangan basket terlihat aman. Kami mempercepat langkah. Namun sesuatu terjadi lagi.
BRUAGH BRUAGH BRUAGH!!!
Terdengar sesuatu seperti kasur yang dipukul. Aku menghentikan langkahku. Firasatku tidak enak. Ruangan yang akan kami lewati selanjutnya adalah ruangan peralatan olahraga. Ini adalah ruangan milik Gavin. Dari suara yang kudengar barusan, mungkin Gavin sedang membunuh seseorang dengan tongkat baseball. Anna membuyarkan lamunanku. Ia menarik lenganku untuk masuk ke ruangan Gavin, sepertinya ia ingin meminta bantuan pada Gavin, tapi kakiku menahannya.
"Kita harus minta bantuan Gavin!"
"Tidak, jangan Gavin."
"Ada apa denganmu? Kau tidak lihat lututku berdarah?" Teriak Anna.
"Kau tidak dengar sesuatu dari ruang Gavin? Selamatkan diri kalian dulu."
Anna dan Kyla akhirnya mengangguk. Kami bergandengan dan berlari kencang. Menuju gerbang sekolah.
Tapi langkah kami memelan saat mendengar suara lirih meminta tolong. Suara itu terdengar dari ujung gang menuju lapangan basket. Jarak kami tinggal beberapa meter lagi, namun suara lirih itu membuat kami mematung.
Tok tok..tok..tok... Suara tongkat yang dipukul ke tembok serta senandung seseorang mengimbangi suara meminta tolong itu.
Sosok seseorang dengan topeng badut dan setelan jas rapi muncul dari arah samping lapangan. Ia berbeda dengan orang yang menyerang mama. Rambutnya hitam dan rapi. Tubuhnya sedikit kurus dan tak terlalu tinggi. Ia menyeret tubuh seseorang yang sudah berlumuran darah dan memukulkan tongkat baseball besi ke sembarang arah.
Anna tersungkur duduk melihat hal itu. Suaranya tak bisa ia keluarkan. Bola matanya seperti hampir keluar. Kyla masih kesulitan bernapas. Beberapa kali ia terbatuk lalu mundur beberapa langkah.
Aku berusaha membangunkan Anna dari lantai. Tubuhnya kaku seperti maneken. Langkah pria itu semakin dekat dengan kami. Aku berusaha mencari sesuatu sebagai senjata. Kudapati sebuah mop di dekatku. Kuacungkan mop itu padanya.
"Tak ada gunanya Nona! Menyerahlah!" Suara pria itu terdengar santai.