The Candles and Their Owners

Aning Lacya
Chapter #19

Gloomy Day

"Aku masih bisa berjalan." Aku lihat Shane masih terseok.

"Kau yakin?"

"Ya. Aku yakin setelah melihatmu."

Tiba-tiba Neill melompat dengan tongkat baseball sudah bersiap menghantam tubuhku dan Shane. Shane memelukku cepat. Ia menghalau pukulan itu dengan punggungnya. BUGH! dan kami berdua jatuh tersungkur. Neill menarik Shane dan menjauhkannya dariku. "SHANE!" Teriakku panik.

Dengan tatapan bengis Neill meneriakiku. "Tak pantas bahan makanan sepertimu menghajar seorang Gourmet sepertiku!"

Dengan membabi buta ia menginjak tubuhku. Aku mengerang sakit sambil menutupi wajahku dengan lengan. Kurasakan alas sepatunya di setiap bagian tubuhku. Aku mulai terbatuk-batuk. Darah ikut bersamaan dengan batuk itu. Neill terus menghujamkan kakinya tanpa henti.

Kali ini Neill mengayun tongkat baseball ke arahku. Aku menutup mata berharap sakitnya tak kurasakan. Sebentar lagi tongkat besi itu menghujam tubuhku.

Bugggh!

Tongkat baseball sudah terjatuh di depanku. Aku terkejut. Kutatap Neill yang sudah tercekik oleh telapak tangan. Wajah Shane muncul di samping wajah Neill. Shane tersenyum jahat melirik Neill yang kini mamasang wajah ketakutan.

Wajah Neill menggambarkan wajah orang yang tahu bahwa ia akan mati sekarang. Shane menggaruk leher Neill dan mengoyak setengah daging lehernya. Kepala Neill terjatuh menggantung di dada dengan ekspresi yang masih sama. Tangannya menggelepar dan kakinya gemetaran lalu tubuhnya jatuh ke samping tepat di hadapanku. Aku menatap wajahnya yang berada di hadapanku. Ekspresi ketakutannya menatap ke arahku. Aku bergidik menatapnya.

Shane meraih tanganku lalu memapahku pelan dan meninggalkan mayat Neill. ia berlari dengan segera menuju pintu keluar. Shane melompat menendang pintu Emergency yang tertutup dan terhalang oleh balok-balok kayu.

Kami jatuh tergulung dengan beberapa bara api menempel di pakaian. Tak lama beberapa orang dengan helm dan pakaian hitam menuju ke arah kami. Mereka bergerak cepat dan membungkusku dengan kain dingin. Aku mengerjap menahan perih yang sangat menusuk-nusuk kulitku.

Mereka menidurkanku dan memberikanku oksigen lalu membawaku ke dalam mobil Van yang sudah bersiap di belakang sekolah. Dari dalam van aku hanya mampu melihat Shane yang dipapah beberapa orang dan kobaran api besar dari sekolah yang terbakar. Air mataku mengalir deras. Kini semuanya sudah tidak ada lagi. Sahabat, rekan dan musuh, mereka pergi bersamaan dengan asap yang mengepul ke angkasa.

***

Mataku tersilaukan oleh cahaya lampu putih di depanku. Entah saat ini aku di mana dan jam berapa? Bahkan tak tahu sudah berapa lama di sini? Aku hanya terbaring di kasur. Tubuhku terbungkus bahan seperti agar-agar, cukup sulit bergerak. Yang masih kurasakan adalah rasa lebam di beberapa bagian tubuh juga kulit yang menebal.

Ruangannya sangat sunyi. Hanya ada meja, kursi dan ranjang yang kutiduri sekarang. Sebuah kamar mandi kecil di sebelah kanan. Kadang ada beberapa perawat mengunjungiku. Mereka sangat kaku dan dingin, bahkan tak ada satupun yang mengajakku berbicara.

Aku memikirkan bagaimana keadaan Shane. Pasti ia ada di sini juga tapi entah di ruangan mana. Aku terpisah dengan Shane saat di dalam mobil Van. Saat itu mereka menutupiku dengan sebuah tabung kaca. Yang kulihat hanyalah cahaya buram di sekelilingku.

Saat tabung terbuka aku sudah berada dalam ruangan dingin dengan beberapa orang berpakaian dokter. Mereka menyuntikkan beberapa cairan ke dalam tubuhku. Perlahan-lahan kesadaranku menghilang dan saat sadar aku sudah berada di ruangan ini.

Aku tak bisa merasakan emosi apapun saat ini. Bahkan tak punya lagi tenaga untuk menyalahkan diriku sendiri. Hampir setiap waktu aku teringat wajah teman-temanku yang sudah mati. Bahkan setiap kali bermimpi mereka selalu hadir dengan wajah mereka saat terbunuh. Aku tak bisa menangis dan tak bisa berteriak padahal ingin sekali melakukannya. Aku hanya memandang kosong ke langit-langit. Yang bisa kuharapkan saat ini hanyalah mengetahui keadaan Shane. Ia pasti dalam kondisi yang sangat parah.

Lalu pintu ruangan terbuka. Seorang perawat masuk dengan membawa nampan berisi obat, air dan makanan. Ia meletakkan itu di sampingku lalu keluar lagi. Ingin rasanya aku bertanya, namun tenggorokanku bahkan hampir tak bisa mengeluarkan suara. Bibirku sulit bergerak karena agar-agar ini juga dipasang di wajahku.

Aku bangkit dan duduk bersandar pada ujung ranjang, menatap kosong ke arah pintu. Tak kuhiraukan nampan yang di bawa perawat tadi. Pintu terbuka lagi. Kali ini orang yang masuk membuatku terkejut. Itu Shane.

"Shane...!" Panggilku lirih karena tenggorokanku terasa sakit. Aku tersenyum lebar sekaligus menangis melihat kondisinya. Ia menggunakan baju putih yang kebesaran khas rumah sakit. Terlihat tubuhnya dililit penuh dengan perban. Bahkan wajah dan kepalanya. Yang terlihat hanyalah mata dan mulutnya saja. Ia menghampiriku dan duduk di sampingku.

"Aku sangat senang."

Lihat selengkapnya