Matahari mulai terbenam. Senja merah yang kupandangi perlahan berubah keabu-abuan. Aku duduk sendiri di ranjangku. Dari pagi aku sudah tidak selera melakukan apapun. Aku hanya menyantap beberapa lembar pancake sebagai sarapanku. Bahkan saat ini matcha latte tidak mampu membuatku tersenyum.
Malam ini Shane akan melakukan eksekusi pada mama. Pagi-pagi buta ia sudah meninggalkan markas. Aku hanya mampu melihat dari jendela mobil van yang membawanya pergi.
Malam sebelumnya Shane memintaku menceritakan semua tentang mama. Aku bercerita penuh semangat. Beberapa kenangan manis yang kulalui bersamanya sangat berkesan. Sekalipun aku mengetahui bagaimana hal yang sebenarnya terjadi. Entah apa yang ada di pikiranku, akan tetapi aku yakin dalam hati kecil mama ia memiliki rasa sayang padaku walaupun hanya sedikit.
Aku menanyakan Shane kembali perihal surat yang kuberikan. Ia masih menyimpannya. Aku memohon sekali lagi pada Shane untuk mengeksekusi mama setelah ia membaca suratku. Ia mengangguk setuju dan memintaku mempercayainya. Lalu kami berdua menghabiskan malam dengan bercerita mengenai adik-adikku di panti asuhan. Entah jam berapa malam tadi kami tidur. Saat aku terbangun, Shane sudah tidak ada lagi dan mobil van hitam sudah meninggalkan garasi.
Ponselku berbunyi, ada notifikasi dari Louisa. Ponsel ini baru diberikan pagi tadi padaku karena milikku sebelumnya rusak saat kejadian di sekolah. Aku bahkan tak memiliki nomor milik siapapun sekarang. Termasuk mama.
Tak lama ponselku berbunyi lagi. Tetap dari Louisa. Aku membuka pesan darinya. Ia ingin aku turun untuk makan malam, tetapi aku menolaknya dengan alasan aku tidak nafsu makan. Sekarang langit sudah sepenuhnya berwarna abu-abu. Di kejauhan aku melihat awan mendung menyelimuti langit di atas laut. Sepertinya akan terjadi hujan. Aku bergeming dan hanya memandanginya, seakan bersikap masa bodoh pada apa yang akan terjadi.
Mataku mulai berat. Aku menyandarkan kepalaku pada bantal yang kutumpuk. Mataku semakin berat ketika tiba-tiba merasa berada di sebuah taman yang dipenuhi lavender. Taman ini sangat luas. Aku berjalan-jalan mengitari taman itu. Bahagia sekali rasanya. Aku merasa semua bebanku terlepas. Aku bahkan tak dapat mengingat semua masalahku. Aku melompat-lompat bahagia. Aku menari-nari di antara bunga lavender.
Aku memetiknya satu lalu mengarahkannya ke langit. Aku menatap aneh pada tanganku. Tanganku mengecil. Saat kuperiksa seluruh tubuhku ternyata aku berada dalam tubuh anak kecil berusia lima tahun. Aku semakin bahagia. Aku berteriak-teriak mengitari taman bunga lavender itu. Di ujung taman aku melihat seseorang yang tidak asing. Siluet itu sangat kukenal. Itu adalah mama. Ia sedang memanen bunga lavender. Aku berlari dengan ceria mendekatinya.
"Mama, Mama!" teriakku padanya.
Ia sama sekali tak bergeming. Tiba-tiba tubuhku tak lagi bisa berlari. Dua tangan orang dewasa menahanku. Salah satu dari mereka lalu mengangkat dan menggendongku. Aku menatap kedua wajah mereka. Itu adalah ayah dan ibu kandungku. Mereka berdua tersenyum padaku. Ayahlah yang menggendongku. Sedangkan ibu merajut kalung dari bunga lavender dan mengalungkannya untukku.
Aku merasakan kebahagiaan yang sangat meluap-luap. Tak henti-hentinya aku mencium wajah ayah dan ibu. Kami lalu tertawa bersama-sama. Hujan gerimis mulai turun. Aku lalu memandang ke arah mama. Ia masih berdiri di sana. Ia menatap kami dengan tatapan kosong.