The Candles and Their Owners

Aning Lacya
Chapter #23

Gavin's Back

Hari ini adalah hari pemakaman mama. Sebelumnya kami semua membuat skenario agar semua hal terlihat wajar. Termasuk bagaimana aku mendapatkan berita mengenai meninggalnya mama. Sehari setelah hari eksekusi, aku dan dua orang dari THE CANDLES pergi dengan mobil untuk mengunjungi panti.

Aku mendapatkan surat dari panti asuhan mengenai berita kematian mama. Tentu saja ini sudah diskenariokan. Hanya saja aku harus mengambilnya agar terlihat lebih nyata. Setelah itu aku berkunjung ke kedai dekat rumah dan bertemu paman pemilik kedai. Ia menceritakan tentang kebakaran di sekolah. Aku bersikap seolah terkejut mendengar hal tersebut dan mengatakan padanya kalau aku pindah tugas saat kebakaran terjadi.

Aku hanya berkunjung sebentar menikmati cokelat hangatnya lalu meneruskan perjalananku ke sekolah lama tempatku mengajar. Sampai di sana yang kulihat hanyalah lapangan luas tanpa bangunan. Dadaku sesak mengingat kejadian hari itu. Aku mengenang Anna dan Kyla yang biasa bercanda bersamaku. Aku meletakkan seikat bunga daisy sebagai tanda berduka.

Aku memakai coats hitam serta topi dengan tepian lebar berwarna hitam juga. Shane memakai setelan kemeja hitam. Ia ikut ke acara pemakaman begitu juga dengan Louisa. Jean tidak ikut karena tuntutan tugasnya.

Kami menunggu Louisa di garasi. Shane memanaskan mobil dan mengecek semua perlengkapan. Kami ditemani satu mobil lain berisi tiga orang anggota THE CANDLES. Semenjak kejadian sekolah kami mendapatkan pengawasan secara intens. Entah kapan Gavin atau oknum lainnya akan bergerak menyerang.

Louisa datang dengan diantar Jean. Louisa menggunakan gaun hitam dilengkapi topi hitam sama seperti punyaku. Semua orang mengacungkan hormat ke arah Jean. Suatu hal yang masih sangat aneh bagiku.

"Kadet! Satu pesanku untukmu. Tetaplah waspada!" Perintah Jean pada Shane. Hanya Shane yang dipanggil kadet sedangkan yang lain biasa dipanggil prajurit.

"Dimengerti Kapten!" jawab Shane.

Akhirnya kami tiba di sebuah gereja tua dekat panti asuhan. Dari kaca mobil aku dapat melihat si kembar Alyce dan Aline. Betapa aku merindukan mereka. Tampak juga beberapa volunteer. Aku turun dari mobil dan membantu Louisa. Shane menyusul kami setelah mematikan mesin mobil. Kami berjalan beriringan memasuki gereja. Aku menyapa beberapa orang yang kukenal. Mereka mengucapkan duka citanya padaku. Beberapa ibu-ibu memelukku dengan isak tangis. Aku terbawa suasana sehingga menitikkan air mataku.

Melihat anak-anak panti asuhan yang tampak murung terduduk di kursi dengan mata berkaca-kaca. Aku mencoba menyapa mereka. Tapi anehnya mereka bersikap dingin terhadapku. Aku tetap berusaha tersenyum. Aku berpikir mereka pasti shock dengan kejadian ini.

Aku maju ke altar untuk melihat wajah mama untuk terakhir kalinya sebelum dikuburkan. Wajahnya tampak sangat tenang di dalam peti matinya. Aku menangis dan mencium wajahnya. Pipinya sedingin puding. Aku terus menerus membelai wajahnya yang sudah tak berekspresi lagi. Lalu seorang Pastur menghampiriku.

"Sebaiknya kau tak perlu terlarut dalam kesedihanmu nona. Biarkan Ny. Keith beristirahat dengan tenang," kata Pastur padaku.

"Maaf, Pastur. Aku terbawa suasana," jawabku.

Aku seperti mengenal Pastur itu. Dari nada suaranya yang sedikit parau yang dibuat-buat. Ia menggunakan kaca mata hitam. Kulitnya sedikit tan seperti warna kulit orang asia tenggara. Rambutnya berwarna putih keemasan namun bagiku janggal melihat perawakannya itu harusnya ia belum memiliki uban.

Lalu mataku menangkap si kembar yang sedang duduk di kursi depan. Aku menghampiri mereka berdua dan memeluknya.

"Alice, Alyn, aku rindu kalian berdua!" Sergapku memeluk mereka dan secara bergantian mencolek pipi mereka.

"Kenapa kau datang? Harusnya kau tak perlu datang." Alice menatapku tajam.

"Kenapa kau bicara begitu? Ada apa dengan kalian?"

Alyn maju dan menunjukkan jarinya di depan wajahku, "kau tak seharusnya di sini. Kau bahkan sudah tak peduli dengan kami semua."

"Aku minta maaf karena tidak menghubungi kalian. Tapi aku masih sangat peduli dengan kalian!"

"Mama sudah tidak ada. Kau akan membuang kami setelah ini bukan? Kami tak akan ada harganya untukmu. Kami hanya beban untukmu Maidy!" tambah Alyn.

Aku mematung. Dua anak itu mendadak agresif. Pandangan mereka juga berbeda. Bagaimana mungkin mereka bisa berkata seperti itu?

"Apa kau merasa ada yang tidak beres?" tanya Louisa padaku berbisik. Ia dan Shane tiba-tiba sudah berada di belakangku.

"Ya. Anak-anak bersikap dingin padaku. Bahkan si kembar. Ada sesuatu dengan mereka," jawabku.

Lihat selengkapnya