The Candles and Their Owners

Aning Lacya
Chapter #27

Dead, Gone, and Passed

The first I met her.

Suara mobil terdengar dari samping rumah. Aku menengok dari jendela. Kulihat juga Loui masih sibuk menyirami tanamannya. Aku menatap orang yang keluar dari dalam mobil. Ia seorang gadis. Ia menunduk begitu melihat Loui menatapnya. Pemandangan itu lebih mirip kemunculan hantu daripada perkenalan. Rambutnya panjang terurai hampir menyentuh tanah ketika ia menunduk.

Aku turun dengan cepat, ingin bertanya pada Loui siapa gadis itu. Terlebih lagi mengapa Loui tidak mencurigainya. Aku menangkap pegangan kursinya dengan cepat. Kutatap gadis itu dari jarak yang lumayan dekat. Ia gadis yang aneh. Tubuh dan rambutnya putih. Ia mirip denganku. Apakah ia juga disiksa oleh ayahnya?

"Ia tetangga baru kita. Ia punya hati yang baik Shane. bersahabatlah dengannya." Kata Louisa padaku

"Akan kucoba!"

***

"Seseorang sedang mengawasi kita!" Kata Louisa padaku, ia mendatangi kamarku dan menutup pintunya ketika menemukanku.

Aku masih menatapnya ketika melihat matanya mulai ketakutan. Bagaimanapun juga Loui seorang perempuan, ia punya rasa takut. Apalagi sangat mengerikan memang jika kenyatannya mata Loui adalah incaran hampir semua orang.

"Aku sudah menghubungi Jean. Ia bilang kau boleh mengseksekusinya malam ini. Pastikan tetangga baru kita tidak mengetahuinya," lanjutnya.

"Ya. Aku mengerti."

Aku keluar rumah memakai hoodie hitamku, hanya untuk sekedar mengalihkan perhatian. Aku berputar mengambil jalan belakang lalu masuk lagi ke rumah dan mengawasi penguntit itu melalui loteng. Kudapati seorang pria tambun mengendap-endap di depan rumah. Ia tampaknya menginginkan sesuatu dari kami. Matahari mulai terbenam dan langit memudar keabu-abuan.

Penguntit itu mencoba masuk melalui pintu gerbang. Aku melirik ke arah rumah tetangga baruku. Masih tampak gelap seperti terakhir ia tinggalkan. Aku dengan sigap melompat dari jendela loteng dan menyergap penguntit itu. Ia terkejut dan terjatuh.

"Apa maumu?" tanyaku padanya.

"Ma-af-a-ku-," jawabnya panik.

Aku membangunkannya lalu menyejajarkan tubuhnya di hadapanku. Tiba-tiba wajah paniknya berganti menjadi mimik yang licik. Ia menendang perutku hingga aku terpental.

"Hahaha... kita bertemu lain kali teman," katanya sambil melarikan diri.

Oh sedang ingin bermain-main rupanya. Aku bangkit dan mengejarnya. Ia cukup cepat untuk seorang pria tambun, meski tampak kelelahan kemudian. Aku dengan cepat melayangkan tinju padanya.

Buagh!!! Buagh!!! Buagh!!! bertubi-tubi kulayangkan pukulan padanya.

"Ampuni nyawaku Tuan, ampuni aku. Kumohon padamu," katanya memelas.

"Siapa yang mengirimmu?" tanyaku sambil mengancamnya dengan kepalan tangan.

"Tuan Eroll dan Tuan Neill. Ampuni aku!"

Tampaknya pria ini hanya pengecut yang mau dibayar untuk mencari informasi mengenai kami. Aku melepaskannya lalu meninggalkannya begitu saja. Aku tahu dia akan melakukan hal lain setelah ini. Saat itulah aku akan membunuhnya.

"KAU BOCAH SOMBONG YANG BODOH. HAHAHAHAHAHAHAHA. Akan kubongkar kegiatanmu yang menghancurkan perusahaan tuan Neill!" Ia berlari lagi setelah meneriakkan hal itu.

Sepertinya semakin menarik saja orang ini. Aku berbalik dan mengejarnya. Kali ini sangat membuatku bersemangat. Aku ingin sekali mencabik-cabik tubuh tambunnya itu. Aku meluncur di tanah memotong pergerakan kakinya. Ia tersungkur ke tanah sambil bergulung. Aku bangkit dan memulai aksi anarkisku. Aku memulainya dengan melubangi perut besarnya.

Jleb!

"AAAAAAAAAHHHHHHH!" teriaknya.

Aku mengambil kaki kanannya lalu kupelintir hingga patah. Ia menjerit-jerit kesakitan. Ia terus meronta ingin lepas dari genggamanku. Aku melepaskannya begitu saja. Aku ingin bermain-main dengan pria ini. Ia menyeret tubuhnya dengan merangkak. Kulihat ia menangis seperti anak kecil yang direbut permennya. Ia merangkak menuju arah cahaya lampu jalan. Ia berbalik di bawah cahaya lampu sambil menatapku.

"KUMOHON, AMPUNI!" Suaranya kehabisan nafas.

Lihat selengkapnya