SUASANA lobi klinik hewan jadi bertambah-tambah lagi meriahnya saat sesosok perempuan berkulit kuning langsat muncul tiba-tiba. Dari cara jalannya yang bagai seekor kucing berjalan di landasan peragaan busana, Karen sudah hafal siapa yang datang. Clutch kuning mungil tergenggam di tangan perempuan itu. Tangan kanannya mengayun-ayun sebuah kantong plastik kecil. Rambutnya yang sepinggang dibiarkan tergerai.
Perempuan itu seperti gong terakhir dalam parade busana, jalan sendirian di antara barisan kursi pengunjung klinik. Karen yakin seratus persen perempuan berambut mayang itu beranggapan bahwa ada seorang kritikus mode kenamaan di antara salah satu pengunjung klinik. Welcome to the jungle, bisik Karen dalam hati.
“Percuma! Anna Wintour enggak bisa datang, Sai!” setengah berteriak Karen pada Saijah temannya.
“Tau, tau! Dia kasih kabar ke gue kok,” sahut Saijah, yang langsung duduk di sebelah Karen.
“Lo sakit apa, Sai?” kata Karen sambil meletakkan tangannya ke kening Saijah.
“Fabulous as always dong, Ren.”
“Jadi mau ngapain anak Jaksel kemari?”
“Mau nemani Warhol. Enggak boleh?”
“Boleh, boleh.”
“Nah!”
“Jadi kenapa anak Jaksel enggak kasih kabar dulu sih mau kemari?” tanya Karen sambil meluruskan kedua kakinya.
Saijah memperlihatkan telepon selulernya yang diberi nama ‘Cimit’ itu pada Karen. “Semalam mulai ngadat lagi. Jadi bukannya mau selonong girl.”
Karen segera mengambil telepon seluler dari dalam ranselnya. “Untung lo ngingetin gue. Gue musti telepon mama. Sebentar....”
Akhirnya Karen mengirim sebaris teks WA untuk Mama, setelah dua kali lagi dia mencoba menelpon Mama tapi belum juga berhasil. Sambil menghela napas panjang, Karen memasukkan kembali telepon seluler ke dalam ransel.
Melihat Karen melamun, Saijah mengucek-ngucek kantong plastik kecil di dekat telinga temannya itu. Bunyi kresek-kresek plastik yang dikucek-kucek itu tidak juga membuat Karen beralih pandangan ke arahnya. Seperti tak sabar, Saijah menarik kedua tangan temannya itu, lalu meletakkan bingkisan itu di telapak tangan Karen.
Tanpa membuka kantong plastik itu, Karen sudah tahu apa isinya. Ketika terdengar suara surpise, surprise! dari sebelahnya, buru-buru Karen mengembalikan bingkisan itu ke tangan orang yang sudah berhasil memberinya surprise tadi.
“Lah kok back to me, sih?” tanya Saijah pada Karen.
“Itu punya siapa?” suara Karen setengah bergetar.
Hanya dalam hitungan beberapa detik, bingkisan itu sudah pindah kembali ke tangan Karen.
“Buat gue?” tanya Karen memastikan.
Saijah mengangguk reply times. Anggukan Saijah yang berulang-ulang, dengan gaya yang sama itu seperti ingin menyakinkan bahwa bingkisan itu seratus persen untuk Karen.
Seperti orang yang baru sembuh dari sakit alergi bulu kucing, kulit wajah Karen memerah dengan kilatan air di kening, pipi dan hidungnya. Dia belum berani membuka bingkisan itu.
Melihat Karen terdiam lagi, Saijah menyenggol temannya itu dengan bahunya. “Makanan bocah begitu aja sampe bikin panik.”
Akhirnya keluar juga suara dari mulut Karen, “Anak Jaksel kok repot-repot amat....”
Sebungkus manisan sanca di dalam kantung plastik itu sekarang berada di pangkuan Karen. Camilan rasa asam manis itu berbentuk bulatan pipih, seperti uang logam.
Hampir tiga belas tahun Karen melupakan manisan itu. Dan sekarang, dia merasa hari ini bukanlah hari yang baik. Pikiran kacau. Perasaannya mulai tidak enak. Dia merasa seperti ada yang mengganjal di dalam hati.
Karen yakin seratus persen tidak pernah bercerita sebaris kalimat pun mengenai manisan sanca pada teman-temannya di SMA, termasuk Saijah. Dia yakin betul, dan tak perlu menunggu konfirmasi apa pun dari Saijah untuk hal yang satu ini.
Sekali saja bertanya malah jadi ribet, pikir Karen. Jika Karen bertanya tentang manisan sanca ini pada Saijah, maka akan dijawab dengan pertanyaan yang lain. Karen kenal betul karakter temannya itu.
Saijah dan semua temannya tidak pernah ada yang tahu manisan sanca adalah camilan yang paling membuat hati Karen meleleh. Dan Karen pun yakin betul, mereka tidak tahu bahwa camilan itu jadi barang paling terlarang di rumahnya. Pantangan.
Karen menatap wajah Saijah dari samping. Yang ditatap sedang asik merapikan rambut mayangnya dengan tangan. Dalam hati, Karen menggeleng. Bukan Saijah, kata Karen dalam hati.
Karen kenal siapa Saijah. Meski tidak sampai seratus persen, dia yakin temannya itu punya obsesi sendiri, bukan mengurusi tetek-bengek pribadi orang lain, termasuk urusan manisan sanca ini.
Saijah adalah satu-satunya teman yang paling mengerti apa arti privasi, yang sangat dia junjung tinggi. Saijah adalah satu-satunya teman yang tidak sekali pun bertanya tentang kisah Papa yang hilang dalam kecelakaan maut.
Obsesi Saijah pun Karen tahu persis. Selain K-pop, pikiran Saijah hanya dipenuhi taktik bagaimana menambah subscriber untuk vlog kecantikannya.
Karen tahu bagaimana sulitnya anak SMA IPS seperti mereka saat mempelajari ilmu astrophysics dari internet. Dia menyaksikan sendiri bagaimana Saijah seperti ngeden mempelajari semua itu demi cita-citanya menjadi seorang beauty guru.