The Carrot Can Fly

Yesno S
Chapter #3

Bab 3. (BUKAN) PERKENALAN PERTAMA

SEMAKIN siang, suasana klinik semakin ramai. Warhol sedang bertapa dengan posisi spink di dalam pet cargo. Dan, akhirnya Warhol punya dua manusia yang mengantarnya ke klinik hewan.

Dua manusia itu sudah saling kenal sejak lima tahun silam, tepat di hari pertama masuk kelas VII SMP. Karen yang datang sedikit terlambat kebingungan mencari tempat duduk. Saijah melempar senyum, dan sejak itu seperti tidak ada yang bisa memisahkan mereka.

Mereka berdua punya cita-cita yang sama: masuk SMA negeri. Tapi toh pada akhirnya mereka gagal, dan sekali lagi,  mereka menjadi partner in crime unggulan di sekolahnya.

Beberapa kali Karen berutang budi pada Saijah. Waktu itu Warhol hilang, dan telepon dari Mbok Yat yang mengabarkan Warhol tertabrak mobil membuat Karen ingin segera pulang. Izin pulang belum juga disetujui guru piket karena alasannya tidak lengkap dan tidak cukup kuat.

Tapi Saijah berani menguatkan alasan Karen. Saijah yang mengantar Karen ke guru piket mengatakan bahwa adik Karen sakit. Karena guru piket ternyata tidak tahu Karen anak tunggal. Karen tampak senang dengan bantuan teman sebangkunya itu, meski dia sudah terlanjur menulis alasan di dalam formulir izin pulang: keperluan darurat. 

Kedua sahabat kental itu masih setia antre di deretan kursi ruang tunggu klinik paling belakang. Dan sekarang mereka dalam keadaan membisu satu dengan yang lain.

Saijah melirik Karen yang sibuk dengan telepon selulernya. Sementara Karen sedang berusaha untuk tenang dan mengalihkan perhatian dengan membuka-buka telepon selulernya.

Dalam hati, Karen berjanji untuk tidak mau lagi membahas tentang manisan sanca atau tema yang berkaitan dengan Jabar. Minimal untuk sementara waktu skip aja tema itu, tegas Karen di dalam hati. Dia ingin menyelamatkan persahabatan yang sudah terjalin sekian lama dengan Saijah.

Karen pun tidak ingin terburu-buru mengirim WA ke Jabar dan menanyakan tentang bingkisan manisan sanca itu. Lagian, jika Karen mengirim pesan ke Jabar, hampir pasti lagi-lagi tidak akan direspons.

Sekarang, dia berusaha tenang, yang dalam istilah Karen dan Saijah ‘ngalir saja.’ Karen menjelmakan diri sebagai seekor kucing senior. Karen merasa punya banyak nyawa. Jumlahnya masih utuh: sembilan. Kucing senior terkenal kalem, bermain-main dengan umpan, dan penuh perhitungan.

 “Masih enam pasien lagi,” ucap Karen, mengalihkan obrolan dari tema manisan sanca ke tema nomor antrian Warhol. Masih tersisa getaran di suaranya.

“Mama enggak nganter Warhol, Ren?” tanya Saijah.

“Kambuh lagi...,” singkat jawab Karen.

“BTW, anyway, gimana yang gue WA kemarin itu, Ren?”

Karen menggelengkan kepala.

Kemarin siang Karen memang menerima pesan WA dari Saijah, dan pada malam harinya dia sudah membalas. Tapi sayang seribu sayang, sesaat sebelum pesan yang dikirim Karen diterima si Cimit, telepon seluler Saijah itu rusak.

“Gue sudah reply, enggak bisa,” kata Karen lagi menegaskan gelengan kepalanya tadi.

“Jadi lo bisa enggak ikutan ke kafe yang mau kita lukis itu, Ren?” tanya Saijah.

Karen menggelengkan kepala sekali lagi.

“Besok kita ngelukis di sana mulai jam tujuh pagi sampe kelar,” kata Saijah.

“Besok gue udah janji sama temen-temen parkour,” balas Karen. 

Wajah Saijah seperti meledek. “Cie.”

Karen juga seperti meledek dirinya sendiri. “Anak baru!”

Saijah bertingkah seperti seorang stylish yang sedang merapikan kaos yang dikenakan Karen. “My dearest newbie-glam! Gue ikut bangga lo akhirnya bisa keluar dari rumah barang sebentar. Enggak jadi ampas kopi, ngendek aja di kamar, ngelukis.”

Karen mengangkat wajah tinggi-tinggi. “Baru nyoba latihan sekali, masih pra-amatir.”

“Siapa tau besok pulang dari parkour bisa mampir sebentar.”

“Itu juga gue belum tentu bisa.”

 “Ya, mumpung liburan panjang masih ada sisa seminggu. Lumayan buat nambah-nambah uang jajan, Ren,” kata Saijah sedikit merayu.

Karen menarik beberapa helai rambut Saijah. “Siapa sih yang punya proyek ngelukis massal di kafe itu?”

Saijah mengibaskan rambutnya. “Mangkanya kita harus ke lokasinya dulu. Gue juga enggak gitu paham.”

“Kok harus?”

“Si Ron yang minta lo ikutan, Ren,” kata Saijah menyebut Ronaldo, teman Saijah sejak SD yang sekarang juga satu kelas di SMA dengan mereka berdua.

Ngapain si Ron enggak minta sendiri ke gue, sih?”

“Itu memang desk job gue di project ini.

 “Terus ngapain gue sama anak Jaksel harus ke sana habis ini?”

“Banyak mikir sih ini bocah.”

“Ya kan nanya dulu, masa enggak boleh?’

Go show aja,” ajak Saijah.

“Semacam jebakan Batman, ya?” tanya Karen curiga.

“NO,” tampik Saijah.

“Siapa aja yang bakal datang di sana?” tanya Karen lagi, masih dengan nada curiga.

“Yang pasti gue sama si Ron.”

“Terus siapa lagi?”

“Tukang cat, yes!.”

“Heh?”

“Tukang cat itu ya temannya si Ron. They are combine strongly....”

“Tampang lo kayak remukan Indomie gitu pas nyebut temannya si Ron itu....”

Saijah mencubit lengan Karen. “Ya tukang cat itu yang antar gue sama Ron kemari. Driver, Ren. Driver of the day!”

Karen memasang kuping, rambut bobnya dia selipkan ke belakang daun telinga. “Uwow....”

“Ini mau nanya atau uwaw-uwow aja, sih?”

 “Oh. Ini jawabannya?” tanya Karen bercanda.

“Pertanyaan nomor berapa aja gue enggak pernah tau,” bantah Saijah.

“Jadi, tukang cat itu yang punya proyek ngelukis massal ini?” tanya Karen memastikan.

“NO!”

“Jadi?”

 “Lo bingung ya, Ren?”

“Memang ada yang enggak bingung kalo ngomong sama lo, Sai?”

He is an artist. Bukan yang punya proyek.”

“Oh.”

“Kayaknya si Ron minta gue buat ngajak lo ngelukis di sana, deh. Bukan buat cari orang interogasi gue gini deh...,” kata Saijah menyindir Karen.

Nanya kan gratis, Sai,” cegat Karen.

Ngalir kita?”

Ngalir, Sai!”

Keep going Darling!”

“Jadi, tukang cat itu siapa sih, Sai?”

“Kan tadi gue udah bilang, tukang cat itu temannya si Ron.”

“Ya siapa tetiba muncul di antara lo dan Ron?” tanya Karen.

“Gue kenal si tukang cat itu juga dari si Ron,” sahut Saijah yang mulai hilang aksentuasi ke-Jaksel-annya.

 “Jadi yang nanti bakal ikutan proyek itu semuanya artist?” tanya Karen lagi.

 “Iye!”

“Semuanya artist, selain lo gitu?” tanya Karen sekali lagi.

Iye, iye....”

“Semuanya nanti sibuk ngelukis, kecuali lo bikin ribet gitu?”

Iye, iye, iye.... any else, Ren?”

“Selain lo sama si Ron, siapa lagi yang gue kenal yang ada di sono?”

“Banyak.”

“Ya siapa?”

“Lo kan kenal teman-temannya Ron di komunitas lukis kaca patri kan?”

Mayan,” sahut Karen.

“Nah!” seru Saijah.

“Ada siapa lagi?”

“OH....“ Saijah seperti sengaja menghentikan sebentar ucapannya.

“Oh, siapa?” tanya Karen penasaran.

“Papanya si Bolt,” jawab Saijah singkat.

“Opa Roem?” tanya Karen setengah tak yakin.

“Dooh! Bang Jabar!”

Saat Saijah menyebut nama Jabar, Karen seperti mendengar bunyi dentuman sangat keras. Karen langsung merasa pengeng. Seperti ada puluhan laron masuk ke dalam lubang telinganya. Detak jantungnya mengeras.

Lihat selengkapnya