ADA dua jenis barang yang selalu Dhaka bawa ke mana pun dia pergi. Yang pertama adalah telepon seluler. Ini jelas bukan hal yang istimewa untuk diceritakan. Hampir semua milenial, bahkan kebanyakan orang yang bukan milenial, juga selalu membawa barang ini.
Yang kedua adalah kacamata. Ada dua jenis kacamata yang selalu dibawa Dhaka.
Meski berbeda warna lensa, kedua jenis kacamata itu punya kesamaan. Model keduanya standar, dengan ukuran yang sama persis. Bukan kacamuka, bukan kacakepala, bukan juga kacamata dengan frame hitam tebal yang memberi efek kuat di wajah.
Semua kacamata koleksi Dhaka bergagang tipis, dengan frame warna hitam yang juga tidak seberapa tebal. Kesan pertama saat melihatnya, B saja. Polos, tidak terlalu menarik perhatian. Bahkan sebuah titik atau garis pun tak terlihat di sana. Padahal, kacamata ‘cengdem’– kependekan dari ‘seceng bikin adem’ yang dijajakan di kaki lima — pun biasanya mempunyai logo atau sebuah huruf dari merek-merek kenamaan dunia.
Dua jenis kacamata itu punya lensa berbeda. Kacamata hitam Dhaka kenakan untuk menghalau sinar matahari saat berkendara, saat jalan-jalan santai di pantai. Sedang satunya lagi berlensa bening. Tapi, kalau dilihat dari dekat dan lebih teliti, lensa bening itu punya nuansa warna merah yang tipis.
Kedua kacamata itu memiliki nama. Burhan – kependekan dari burung hantu – adalah nama untuk kacamata hitam. Sedangkan yang berlensa bening, dia beri nama A.T. Mahmud.
Meski paling jarang digunakan, Burhan menjadi penghuni tetap di dalam tasnya. Sementara sebagai orang bermata minus, A.T. Mahmud paling sering dia gunakan sehari-hari. Selain saat berselancar di telepon seluler, A.T. Mahmud dia gunakan saat naik kendaraan, bersepeda, makan, melukis, ke toko buku, atau sekadar duduk di taman.
Saat Dhaka mulai ngorok, barulah A.T. Mahmud bisa rebahan di atas meja lampu. Kalau saja Burhan bisa bicara, pasti sudah ngomel-ngomel pada A.T. Mahmud saking irinya.
A.T. Mahmud tidak cuma ada satu. Dhaka punya dua A.T. Mahmud untuk jaga-jaga saat lensanya terkena cat, atau, yang paling dia takuti, tertinggal apalagi hilang. Sejak empat tahun lalu, Dhaka mulai mengenal A.T. Mahmud, dan sejak itu juga dia tidak akan bisa jauh darinya.
Dhaka tidak selalu ngopi di pagi hari. Dan, belum tentu juga setiap hari dia punya waktu mencukur rambut yang meliar di pipi, dagu, hingga lehernya. Tapi untuk tiga kacamatanya itu, dia selalu ada waktu. Ketiga kacamatanya akan disedot pompa penyerap debu, lalu dilap kain flanel kering. Untuk urusan tiga kacamata ini, dia tidak pernah meminta bantuan pada siapa pun.