WARHOL mengeong di dalam pet cargo ketika Karen membawanya ke pelataran parkir. Saijah dan Ronaldo membuntuti Karen sampai pesanan mobil online tiba. Sedangkan Dhaka menunggu tak jauh dari situ, di belakang minivan-nya.
Seperti ingin menyampaikan sesuatu pada Karen, Saijah berusaha ikut masuk ke dalam mobil.
“Ngapain anak Jaksel mau ikutan masuk, sih?” kata Karen di setengah pintu mobil yang masih terbuka.
“Nanti gue mampir ke rumah lo,” kata Saijah sebelum pintu ditutup.
Karen membuka kaca mobil. “Lo enggak mau lihat Ronaldo jadi kurus kan kena semprot mama gue terus?”
“Ngapain ngajak dia. Gue sendiri,” sahut Saijah lagi.
“OK!” seru Karen sambil menutup kaca mobil online pesanannya.
Setelah menunaikan tugas sebagai tim dadah, Saijah dan Ronaldo seperti cacing kepanasan. Mereka kembali masuk ke minivan mencari tempat persembunyian. Siang itu udara memang sedang terik-teriknya.
Dengan mengenakan A.T. Mahmud, Dhaka malah jalan menjauhi mobilnya. Dia mencari pelataran yang lebih lebih terbuka. Hampir tegak lurus dengan langit, dia mendongak seperti sedang memandangi sebuah lukisan yang terbentang jauh di atas kepalanya.
Dalam hati Dhaka berkata, langit siang itu seperti sebuah lukisan samudra yang pucat. Warna biru mudanya terlalu terang, masih katanya dalam hati. Pewarnaannya sangat canggih dengan sapuan warna putih yang dibuat tipis supaya seakan-akan terlihat luntur, kata dia lagi, masih di dalam hatinya.
Setelah puas memandang langit, Dhaka bergabung bersama kedua temannya di dalam minivan. Dia mengatakan pada kedua temannya, saat ini semua orang membawa matahari di atas kepala masing-masing.
Seperti sedang mendengarkan dongeng dari negeri asing di siang bolong, Saijah yang duduk di kursi depan melongok ke arah belakang. Sayang sekali, momen itu berlalu begitu saja. Ronaldo yang duduk di belakang tidak sempat melihat raut wajah Saijah yang seperti sedang ditekuk-tekuk itu.
*
Siang itu adalah siang penuh dengan perjanjian. Dua hari sebelumnya, Saijah dan Ronaldo sudah punyai dua poin kesepakatan. Kesepakatan poin pertama adalah, Saijah harus mencarikan seniman yang terbiasa melukis sayuran dan binatang untuk sebuah proyek melukis massal. Poin kedua, Ronaldo harus bersedia mengantar Saijah untuk keperluan poin pertama.
Ronaldo tahu persis, bahwa yang tercantum pada poin kedua itu terkesan ringan-ringan kerupuk. Tapi Ronaldo juga tahu persis, jumlah kerupuk satu kilogram itu tidak akan sama banyak dengan jumlah besi batangan seberat satu kilogram.
Sejak mereka berdua satu sekolah saat SD, Ronaldo tahu persis Saijah tidak pernah sesederhana kerupuk satu kilo. Saijah bukan orang asing bagi Ronaldo. Mamanya Ronaldo dan mamanya Saijah berteman akrab. Ronaldo dan Saijah berteman sejak masih balita tanpa jabatan tangan.
Rumah mereka dalam gang yang sama, dan saat Pemilu yang baru saja lewat pun mereka dalam satu TPS yang sama.
Dalam kesepakatan itu, Ronaldo wajib mengantar Saijah selama 24 jam. Ronaldo akan menjadi ojek pangkalan tak berbayar untuk Saijah. Ronaldo sudah membaca gelagat itu. Maka, sehari sebelum siang bolong ini, Ronaldo sudah menghubungi Dhaka.
Sebagai orang yang menawarkan pengerjaan proyek melukis massal, Dhaka menyetujui permintaan Ronaldo untuk angkutan mobil online jika diperlukan. Malahan Dhaka bilang, dia sendiri yang akan mengantar Ronaldo. Ronaldo yang paling gampang keluar keringat di siang bolong itu jadi tidak mati kepanasan.
Sesungguhnya, di kolong langit yang sama tidak ide yang benar-benar murni. Tapi, di kolong langit siang bolong ini, ada yang diam-diam menyembunyikan sesuatu di dalam hatinya.
Hidden agenda. Namanya juga tersembunyi, jadi agenda yang akan dilaksanakan pantang di-posting jadi status atau story di sosial media. Semboyan: “Tidak perlu berbohong tapi tidak perlu terlalu terbuka” makin hits sekarang.
Dan tahukah, apa yang sedang terjadi di langit yang sama, selalu ada yang diam di dalam gelap. Vampir siang bolong: mengamati dari kejauhan, menunggu momen yang tepat, dan siap menerkam. Bayangan itu bergerak di dalam diam. Sesuatu yang bahkan mesin pencarian seperti Google pun tak mampu melacak.
***
JADI, siang bolong ini Dhaka akan mengantar Ronaldo dan Saijah selama 24 jam. Setelah tadi ke klinik hewan, lalu sesudah ini ke sebuah petshop di bilangan Kemang, nantinya tentu Saijah akan minta diantar juga ke rumah Karen.
Seperti kebanyakan orang, Dhaka menggunakan kacamata hitam saat berkendara di siang hari. Tapi tidak seperti kebanyakan orang, dia akan mengganti-ganti kacamata selama mengendarai minivan-nya.
Saat kondisi jalan mulai padat, atau mendekati rambu lalu lintas, dia akan mengenakan A.T. Mahmud, kacamata beningnya. Begitu pun sebaliknya, dia akan mengenakan lagi kacamata hitam bernama Burhan, jika kondisi jalanan lengang, lancar tanpa hambatan.
Setelah meninggalkan klinik hewan, mereka disambut aspal yang seperti bertabur berlian. Minivan Dhaka meluncur dengan kecepatan rata-rata, mulus dan tenang.
Lagu instumentalia sudah mengalun pelan. Saijah mengambil posisi di kursi depan, sedang Ronaldo di kursi baris kedua, tepat di belakang Saijah.
Saijah seperti tidak akan pernah kehabisan energi bertanya tentang ini-itu pada Dhaka dan Ronaldo. Tapi, Dhaka mulai membisu di depan setir. Sedangkan Ronaldo berusaha menjawab sebisanya, sambil membuka-buka buku koleksi Dhaka.
“Well, well, well, bau catnya makin santer aja,” komentar Saijah sambil terus mengipas-ngipas wajahnya dengan selembar kertas.
“Gue sih ngerasa ini bau karamel,” kata Ronaldo di kursi baris kedua.
Di baris kedua Ronaldo berbagi tempat dengan kotak-kotak plastik berukuran sedang. Di dalam kotak itu ada buku, CD, apron kuas, lakban, alat tulis, dan reusable respirator masker. Di bangku yang dia duduki, Ronaldo juga masih harus berbagi tempat dengan tumpukan stensil yang dikemas kertas yellow board, segulung plastik lembaran, segulung karton manila, dan beberapa buku lagi.
Di bangku barisan paling belakang minivan itu, ada jajaran tiga kotak plastik besar. Di dalam kotak besar itu berisi cat kalengan dan cat semprot. Sisa tempat dikuasai beberapa tote bag yang gendut-gendut.
Lama tak bersuara, tiba-tiba Dhaka memperlambat laju mobil, lalu berhenti di sebuah bahu jalan.
“Boleh cari tempat buat telepon sebentar?” tanya Dhaka pada kedua temannya itu.
Kedua temannya itu menjawab yang isinya kurang lebih sama: oke!
Dhaka memutar setir ke arah kanan, masuk ke sebuah jalan perumahan. Kompleks perumahan di kawasan Kebayoran Baru ini bukan tujuan mereka. Sekilas Dhaka seperti sedang mencari alamat rumah seseorang ketimbang mencari tempat untuk menelepon.
Dhaka menurunkan kaca mobil, mengganti Burhan dengan A.T. Mahmud, kemudian membungkukkan badan untuk melihat-lihat situasi di luar. Jajaran pohon mahoni yang besar-besar membuat kompleks perumahan itu jadi sedikit adem.
Di dekat sebuah pohon mahoni tumbang, Dhaka baru menghentikan mobilnya. Mereka berada di muka sebuah rumah yang tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Rumah itu tampak mungil di antara rumah-rumah lain yang besar dan berpagar tinggi.
“Kebetulan ada tempat bagus, nih. Ada yang mau ikut?” tanya Dhaka pada kedua temannya.
Saijah menggeleng dengan raut muka masam, sedangkan Ronaldo mengacungkan jempol dan berseru, “Ngalir, Ka.”