“... Batman dan Joker kan kerjanya kejar-kejaran melulu. Makanya tidak ada yang kalah dan menang. Kesannya musuh abadi, ya. Padahal sebenarnya, mereka berdua itu memang senang bermain-main, tidak sungguh-sungguh bertarung sampai penghabisan.... Mas Dhaka harus hati-hati ngambil kesimpulannya, ya....”
Suara Bop, temannya yang tinggal di Singapura itu menutup obrolan dengan Dhaka.
Sebenarnya, obrolan melalui telepon itu masih mengganjal di hati Dhaka. Kalau sudah begini, Dhaka jadi tak akan pernah merasa cukup ngobrol dengan Bop. Tapi kali ini dia memang harus menghentikannya. Saijah dan Ronaldo sedang menunggu di dalam mobil.
Di masa lalu, Dhaka dan Bop bukan dua orang yang bisa akur dalam satu tempat yang sama. Mereka kerap bertengkar. Dia tidak pernah bisa betah ngobrol dengan Bop sampai di menit ke lima. Saat kecil, Bop adalah orang yang paling dia hindari.
Dhaka akan mencari kesibukan lain, daripada harus bertatap mata dengan Bop. Setiap Bop mencoba mengajak bicara, dia selalu menarik kertas apa saja yang ada di dekatnya. Kadang koran, kadang majalah, atau buku-buku mamanya dia gambari selama Bop bicara.
Dhaka tahu, Bop seperti tak senang dengan caranya menghindar. Meski Bop tidak pernah marah, Dhaka selalu tidak berselera melihat manik mata Bop yang selalu berbinar-binar saat menatapnya.
Setelah itu, tumpukan kertas HVS kosong, buku gambar, dan pensil warna, selalu ada di ruang tamu, meja makan, beranda, dan kamar tidurnya.
Dhaka juga punya cara lain lagi. Dia memilih menggambar dengan krayon dan spidol di dinding-dinding rumahnya. Setiap mendengar langkah kaki Bop, Dhaka akan mencari dinding kosong daripada menatap mata Bop.
Faktor umur adalah salah satu penyebabnya. Usia mereka terpaut 40 tahun. Bop adalah teman mamanya Dhaka. Setahun sebelum mamanya pergi untuk selamanya, Dhaka mengenal Bop. Saat itu usia Dhaka baru sepuluh tahun.
Sebaris pesan terakhir mamanya itulah yang membuat Dhaka masih berusaha menjaga pertemanannya dengan Bop. Mamanya meminta Dhaka menerima Bop sebagai teman, dan Bop diharapkan menjaga Dhaka.
Bop memang orang kepercayaan mamanya. Tapi tidak buat Dhaka. Kalau itu bukan pesan terakhir, Dhaka pasti akan mengelak dan protes. Tapi, Dhaka tidak punya siapa-siapa lagi.
Lima tahun yang lalu ketika penyakit gula Bop semakin parah, Dhaka ikut menemani Bop berobat ke Singapura. Dan sejak itulah mereka akhirnya tinggal di sana, sampai sekarang.
Lain dulu lain sekarang. Sekarang, Bop adalah orang paling sering Dhaka telepon. Dalam sehari ini saja, tiga kali dia menghubungi Bop.
Sebaliknya, kapan pun Bop menelepon pasti Dhaka siap mengangkatnya. Tidak ada alasan baginya untuk menunda panggilan dari Bop. Baginya, Bop bukan hanya teman curhat yang baik, tapi juga Google berjalan.
Sebenarnya, tidak semua tema obrolan Bop terbilang enteng. Kadang, Dhaka merasa tertatih-tatih untuk memahami tema obrolan yang Bop lontarkan.
Misalnya, tema mengatasi rasa takut tanpa obat tidur. Beberapa tahun lalu, Dhaka sempat tersinggung ketika Bop membahas tema ini. Dia benar-benar merasa tersindir. Ketika adu argumen itu tidak terleraikan, dia merasa harus menyingkir sebentar dari kehidupan Bop. Pulang ke Jakarta adalah cara yang dia tempuh.
Tapi itu hanya sementara. Dhaka akan kembali ke Singapura dan berharap obrolan mereka berganti ke tema-tema yang lain. Jika penyakit sulit tidur menyerang kembali, Dhaka akan melukis. Di dinding kamarnya, di kanvas, di kertas. Dia akan terus melukis, jika rasa kantuk itu belum juga muncul. Dia akan melukis tongkat, kursi roda, sepatu dan selop milik Bop.
Sampai di suatu masa Bop melenyapkan tema obrolan obat tidur. Bop jadi lebih sering membahas tema-tema lain. Dhaka mulai merasai rileks. Dan tanpa disadari, pelan-pelan kebiasaan buruknya itu berkurang.
Obrolan mengapa tiap orang harus siap kehilangan orang yang mereka sayangi, juga bukan tema yang Dhaka suka. Tema itu pun selalu menimbulkan adu mulut. Kalau sudah begitu, Dhaka akan memilih pergi lagi ke Jakarta untuk beberapa waktu. Dan saat kembali ke Singapura, dia membawakan Bop banyak oleh-oleh dari hasil kerja muralnya.
Bagaimana pun, Bop adalah teman terbaik Dhaka. Saking dekatnya hubungan pertemanan mereka, Dhaka berani berterus terang pada Bop bagaimana bingungnya dia mengelola uang hasil warisan dari kedua orang tuanya.
Dhaka sangat terbuka pada Bop. Dan Bop selalu siap jadi teman diskusi yang baik. Bop juga selalu mendoakan agar hari-hari yang Dhaka penuh warna.
Bop akan tiba di Jakarta sore nanti, pukul lima. My Bro sudah mengatur semua. Sebelum menekan tanda merah pada telepon selulernya, Dhaka berjanji akan melanjutkan lagi obrolan dengan Bop nanti malam, di paviliun tempatnya tinggal.
“Dhaka tunggu nanti malam. Kamar sudah siap, kasurnya masih kenceng, kita lanjut ngobrol ya, Bop....”
*
“Maaf, maaf. Lama banget ya?” Dhaka menyapa Saijah dan Ronaldo saat kembali masuk ke mobil.
Seperti perjanjian sebelum hari ini, tujuan mereka di siang ini setelah dari klinik hewan adalah sebuah petshop di kawasan Kemang.
“Oh ya, Sai. Nanti di sana, tuh, di sana, ingatkan saya lagi semua pertanyaan yang masih ngegantung ya,” kata Dhaka sambil menunjuk ke arah petshop.
“Sudah lupa semua tuh,” sahut Saijah.
“Cie. Ada yang ngambek...,” celetuk Ronaldo di kursi belakang.
“Idih. Gue lagi nginget-nginget listings titipan Bang Jabar kali,” kata Saijah sambil merapikan lembaran kertas yang tadi dijadikan kipas.
Kertas itu berisi catatan barang apa saja yang akan dibeli untuk Warhol. Sepulang dari klinik hewan tadi, Saijah belum menjelaskan secara detail, hanya minta diantar ke petshop di kawasan Kemang.
Saat Saijah merapikan rambut, Dhaka mengambil kesempatan untuk mengganti lagi kacamatanya. Sedangkan Ronaldo sedikit menggeser tumpukan buku tebal Dhaka, untuk mengambil posisi setengah tidur. “Gue di sini aja. Mau baca-baca manja.”
“Buat tarif jaga gerobak cat ini nanti kita makan di sini ya, Tuan Ronaldo,” canda Dhaka pada Ronaldo.
Ronaldo mengacungkan dua jempolnya.
*
Dhaka begitu antusias ketika mendengar cerita Saijah bahwa ternyata di toko inilah Karen biasa membeli segala kebutuhan Warhol. Tepat saat mereka berdua memasuki pintu petshop, Saijah terdiam sebentar, seperti ingin mengatakan sesuatu pada Dhaka.
“Ya?” tanya Dhaka sambil mendorong troley.
“Enggak jadi deh,” jawab Saijah seenaknya.
Dhaka mengikuti Saijah menuju lorong Food & Snack Department, lalu berhenti di jajaran dryfood.
Saijah menunjuk sebuah merek makanan untuk kucing senior berusia 12 tahun ke atas. “Dua kilogam per bungkus. Ya, benar ini. Empat ya, Ka,” kata Saijah.
“Siap, Kaka,” kata Dhaka membantu mengambilkan empat bungkus dryfood itu ke dalam troley.
“Sekarang kita ke makanan lunak,” ajak Saijah.
Mereka mulai menyusuri lorong wetfood yang tak seberapa jauh dari dryfood.
“Nah, yang ini dua lusin,” kata Saijah menunjuk wetfood kalengan.
“Wow!”
“Buat stok sebulan katanya, Ka.”
Dalam catatan, masih ada satu item lagi yang harus dibeli. Dhaka terus mengikuti Saijah sambil mendorong troley.
Saijah membalikkan badan. “Saingan lo berat, Ka.”
Dhaka menaikkan alis. “Berapa kilo beratnya?”
Saijah melipat catatannya. “Ini semua titipan dari Bang Jabar buat Karen.”
Dhaka menopang dagunya di troley. “Karen? Karen makan dryfood dan wetfood for cat?”