SEORANG perempuan muda jalan berlenggak-lenggok di aspal panas. Dengan sepatu hak sedang, dia menjelma top model di sebuah runway show. Helai-helai rambut mayangnya berkibar seirama dengan langkah kakinya.
Sesekali dia menoleh ke belakang, memberi aba-aba pada seorang lelaki bertubuh gempal supaya berjalan lebih cepat lagi. Terengah-engah, lelaki yang memakai topi warna hijau lumut itu berusaha terus mengikuti si perempuan muda. Lima kantong plastik di kedua tangannya tak bisa dibilang ringan.
Lelaki itu berhenti sejenak di setengah perjalanannya, menarik napas panjang, mengubah posisi topi, kemudian melanjutkan lagi sisa perjuangan.
Perempuan itu sudah sampai duluan, lalu berteduh di antara bayangan pohon rambutan yang jatuh di pinggir jalan. Tidak sabar menunggu lelaki itu. Dan pada akhirnya ketika lelaki itu sampai juga di tujuan, buru-buru si perempuan muda mengibas-ngibaskan tangan.
“RUN - BUTLER - RUN,” kata Saijah pada Ronaldo di depan pintu pagar rumah Karen.
Saat meletakkan semua barang bawaan di dekat pagar rumah Karen, Ronaldo melihat sekelebat bayangan. Sesosok yang menyerupai mamanya Karen sedang berdiri di depan pintu rumah. Tanpa sepatah kata pun, Ronaldo balik badan, dan setengah berlari meninggalkan Saijah.
***
DHAKA membuka pintu depan minivan saat melihat Ronaldo mendekat. La-la-la-la-la-la-la, hey Jude! Potongan lagu The Beatles itu yang akhirnya menyambut kedatangan Ronaldo.
“Perjuangan memang butuh pengorbanan, Ron!” canda Dhaka sambil mengecilkan volume suara audio.
“Kayaknya tadi mamanya Karen udah siap-siap raid ke gue di depan pintu rumahnya,” kata Ronaldo sambil terengah-engah.
“Jam tiga sore begini, masih juga panas aja ya, Ron” kata Dhaka menahan tawa.
“Panasnya tuh di sini, Ka,” sahut Ronaldo sambil mengusap-usap dadanya yang basah.
“Kamu pernah berapa kali kena raid Ibu Danarjati?” tanya Dhaka.
“Tahun ajaran kemarin lima. Yang dulu-dulu enggak gue reken,” terang Ronaldo menghitung berapa kali kena marah mamanya Karen.
Dhaka tak bisa lagi menahan tawa. “Hashtag enggak mudah jadi Ronaldo.”
“Kalo bukan buat Warhol gue mah ogah.”
“Semua teman laki-laki mental kalau ke rumah Karen, Ron?” tanya Dhaka dengan wajah penasaran.
“SE-MU-A!” tandas Ronaldo.
“Termasuk Bang Jabar?”
“Pastinya.”
“Masih sampai sekarang?”
“Ho-oh.”
“Mereka itu berteman baik, loh,” kata Dhaka seperti membela Jabar.
“Iya, Karen selalu bilang ke semua temen kalo Bang Jabar itu abangnya,” tambah Ronaldo.
“Tapi—“
“Tapi tetap aja kena semprot...,” kata Ronaldo memotong ucapan Dhaka.
“Sedikit banyak saya kenal Bang Jabar.”
“Meskipun Bang Jabar sekarang sudah mulai tajir tetap aja kena semprot....”
“Loh! Kok ke sana?”
“Maksud gue, mamanya Karen galaknya galaksi, Ka.”
“Oh, maksud kamu, Ibu Danarjati itu mau sampai kapan pun ya tetap galak, gitu, ya?” tanya Dhaka penuh rasa ingin tahu.
“Lah iya, Ka,” jawab Ronaldo seperti malas untuk mengingat-ingat obyek pembicaraan kali itu.
“Ibu Danarjati kan lagi sakit, pasti beliau akan senang kalau dijenguk.”
“Mungkin,” ucap Ronaldo dengan wajah enggan.
“Misalnya saya, Bang Jabar, dan kamu ke sana –“
“Gue enggak deh, Ka. Serius,” potong Ronaldo.
“Oke, kamu nunggu di lapangan bola ini. Misalnya, enaknya bawa apa?”
“Bunga. Mama Karen suka bunga,” jawab Ronaldo dengan nada suara yang tambah malas-malasan.
Dhaka membuka telepon selulernya. “Makanan, mungkin?”
Ronaldo mengingat-ingat sesuatu. “Ohh... sebentar gue inget-inget dulu.”
“Beliau kan sakit tumor dan vertigo, kata Saijah, pasti harus hati-hati kalau bawa buah...’”
“Oh buah-buahan jadul. Karen pernah sibuk cari buah-buahan yang aneh-aneh gitu....”
“Apaan itu?” tanya Dhaka penasaran.
“Gue enggak tau jelas. Pokoknya buah yang pohonnya udah jarang. Namanya aja gue baru denger sekali itu.”
“Oh.”
“Maaf ya, Ka. Gue jadi males mikirnya. Gue pernah kena semprot lima kali. Udah enggak mau nambah....”
“Tadi itu kan misal-misal saja. Bukan sungguhan, Ron.”
“Oh, kirain mau maju beneran sekarang....”
*
Dhaka seperti sedang memikirkan sesuatu. Kaos Ronaldo yang mulai kering dari belepotan keringat itu membuat ingatan Dhaka terpental ke masa lalu. Dengan lekas Dhaka membuka telepon selulernya.
“Sabar, Ron, kita tidak usah membahas Ibu Danarjati kalau kamu kurang enak,” kata Dhaka. “Saya mau kasih lihat sesuatu yang berbeda. Tapi harus ada soundtrack-nya.”
“Harus benget pake soundtrack ya, Ka?”
“Ini harus.”
“Bukan cuma dropping name loncat ke tema lain kan, Ka?” sambil mengipas-ngipas wajah dengan topinya.
Dhaka sudah menemukan sebuah klip video di YouTube.
“Oke. Ini serius,” Dhaka meneruskan kalimat sambil menyodorkan selulernya pada Ronaldo, “nanti perhatikan pas adegan cat warna-warni yang tumpah ya, Ron.”
Ronaldo melihat video klip lagu Strawberry Field Forever dari The Beatles itu dengan muka ogah-ogahan.
“Lagunya mah mayan hafal. Tapi klipnya baru kali ini, Ka.”
Dhaka tersenyum, lalu menunjuk ke arah telepon selulernya. Mereka sudah sama-sama selesai menyaksikan video itu.
“Mayan bikin halu juga sih, pas tadi lihat adegan piano disiram cat warna-warni,” kata Ronaldo sambil memulangkan seluler itu ke Dhaka.
“Itu simbol tuh, Ron,” kata Dhaka sambil memencet-mencet tombol audio mobilnya.
Ronaldo mengingat-ingat lagi adegan ketika semua personel The Beatles menuangkan cat di atas piano.
“Sekarang, kita dengar lagi lagunya di audio,” kata Dhaka menekan tombol on.
Ketika lagu Strawberry Field Forever mulai mengalun, Dhaka menyodorkan kembali selulernya pada Ronaldo.
“Coba lihat foto ini. Lambaikan tangan jika lagu ini tidak dibutuhkan.”
“WAIT!” sergah Ronaldo dengan mengacungkan telunjuknya.
Mata Ronaldo membulat saat melihat perbesaran foto itu.
“Kita butuh lagu ini,” kata Ronaldo sambil tertawa terbahak-bahak.
“Five Baloons,” kata Dhaka menerangkan mural karyanya itu.
“Berengsek lo!” umpat Ronaldo sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Pecah, ya Ron?”
“Ini mah nyindir gue banget.”
Setelah lagu itu habis, Ronaldo meminta diputar sekali lagi.
Dhaka menekan tanda panah satu kali di audionya, “Seorang lelaki berjuang membawa lima beban di siang bolong ya, Ron?”
Ronaldo memperbesar foto, dan menggeser ke gambar orang di mural itu. “Persis kayak gue barusan tadi. Cuma karakter orangnya pake halo di kepalanya, dan.... orangnya kegantengan. Kurang bantet.”
“Tapi situasinya pas ya, Ron?” kata Dhaka mengarahkan perbesaran fotonya ke arah sosok di dalam mural itu.
“Banget,” kata Ronaldo lagi. “Ini buatan lo, Ka?”
“Yoi.”
“Wah makasih udah disindir pake mural begini bagus.”
“Kita harus berterimakasih sama lagu ini, Ron.”
“Makasih Kak Lennon.”
“Karya seni dalam bentuk apa pun selalu mempertemukan orang-orang tanpa sekat ruang, dan waktu....”
“Pecah lagi nih gue, Ka.”
“Sekarang, saya yang teriak EAA.”
“Ini mural pake teknik stensil ya Ka?”
Dhaka mengangguk.
“Ini karya mural pertama lo?” tanya Ronaldo lagi.
“Bukan. Yang kelima belas, kayaknya.”
“Wah menang banyak!”
“Kan nganggur. Banyak latihan ngelukis aja, kan sekolah enggak, kerja enggak....”
“Bakat nomor dua ya, Ka?”
“Berkarya itu kan sama dengan jam terbang.”
Dhaka menceritakan bagaimana saat dia membuat persiapan muralnya itu. Dhaka menunjukkan foto-foto dokumentasi saat persiapan cutting dari sketsa yang menurutnya ribet minta ampun. Setelah gagal beberapa kali, proses pemotongan kertas itu pun akhirnya berhasil.
Dhaka menekan tombol off di audio, dan membiarkan Ronaldo memegang selulernya. Sekarang Dhaka siap mendengarkan semua komentar Ronaldo untuk karya muralnya itu.