BIASANYA, Youku (boneka kelinci milik Karen) lebih banyak telentang di atas kasur. Sorot matanya tertuju ke langit-langit kamar, atau kipas angin yang menggantung di kamar Karen.
Sejak dua tahun belakangan, Karen memindahkan kasurnya ke kamar Mama. Di sanalah Karen tidur, sambil menemani Mama yang sedang berjuang melawan sakit tumor dan vertigo.
Sebagai gantinya, Karen menggelar tikar pandan dua lapis di kamarnya. Di tikar pandan dua lapis itulah Karen biasa istirahat di sela-sela belajar atau melukis.
Setiap ingat Youku sendirian di kamar Karen, Mama selalu kasihan terhadap satu-satunya boneka kelinci di rumah itu. Apalagi sekarang Youku diletakkan di atas lemari. Mama selalu meminta Karen untuk membawa serta Youku saat menjelang tidur di kamar Mama. Tapi Karen selalu punya alasan untuk menenangkan Mama.
Karen bilang, sekarang tugas Youku jagain lukisannya. Mama tersenyum, artinya untuk sementara kegelisahan sudah teratasi.
Sebenarnya, Karen tidak ingin ada orang lain yang bisa mendekati telinga besar Youku. Sebab, di sanalah Karen menyimpan semua rahasianya.
Dan selama dua tahun belakangan, perlahan-lahan kamar Karen menjelma jadi studio lukis (untuk tidak menyebutnya sebagai gudang). Setiap hari, ada saja barang yang masuk.
Kamar Karen seakan-akan menciut seperti kotak donat. Donat-donat mulai berdesakan. Setiap kakinya melangkah, Karen seperti sedang mencari lubang-lubang donat yang aman. Dia tidak mau kakinya menginjak lelehan cokelat, atau merontokkan bubuk gula putih donatnya. Seakan-akan kotak donat itu semakin dipenuhi donat warna-warni.
*
Setiap dua atau tiga kali dalam seminggu, Karen menemui Jabar di rumah Opa Roem, di luar pengetahuan Mama. Saat itulah Karen akan membawa nasi beserta sayur untuk Jabar makan.
Kalau sayur kepunyaan Mama tinggal sedikit, Karen akan mengantikannya dengan makanan lain. Jabar sangat suka bubur sereal yang ditaburi putik bunga safron. Kalaupun sereal sedang habis, Karen akan membuatkan jus sayur mentah. Jabar paling suka jus wortel atau seledri.
Dan, kalaupun pada akhirnya isi kulkas sedang kosong, Karen akan mengangkut apa saja yang ada di rak paling bawah. Misalnya pisang. Jabar pasti bisa mengalahkan kera jika ada lomba makan pisang.
Jabar tidak makan daging-dagingan. Karen akan menghentikan pertanyaannya di saat Jabar makan atau sedang minum. Jabar hanya senyam-senyum dan mengangguk kalau sedang begini.
Jabar pernah mengatakan pada Karen bahwa, rasa lapar dan haus bisa dikendalikan oleh pikiran kita sendiri. Saat itu Karen kurang paham. Dan sampai saat ini pun Karen masih meraba-raba apa maksud omongan Jabar itu.
Dari kaos hitam ngepres yang selalu dikenakan Jabar, Karen melihat Jabar dan Bolt punya kesamaan. Perut mereka sama-sama tipis. Dua pangkal lengan mereka sama-sama berotot. Kedua kaki mereka juga sekilas ringkih, tapi kuat melompat.
Jabar selalu bersepeda dari Bintaro ke Slipi, pulang pergi. Lompatan kaki Jabar juga tinggi, melebihi jangkauan Bolt. Jabar memanjat pohon mangga di halaman rumah Opa Roem dalam sekali lompatan ke dahan terendah. Di atas dahan, Jabar menjelma jadi Spidey, bergelantungan, sampai ke tajuk pohon.
Sedangkan Bolt mampu melompati pintu pagar rumah Opa Roem. Lari seperti kesetanan sebentar, lalu balik ke rumahnya.
Sebenarnya, Jabar akan lebih senang lagi jika Karen membawakan wortel mentah, mentimun, atau batang-batang seledri besar. Dia akan makan semuanya sampai tandas.
Dalam hati, Karen selalu mengatakan bahwa lelaki usia 27 tahun itu adalah seekor kelinci yang terjebak dalam tubuh seorang chef dalam film Aruna dan Lidahnya. Cie....
Meski Opa Roem tidak mampu membayar, Jabar selalu bersemangat setiap mengajak Bolt latihan fisik dan keterampilan. Sebagai pemilik shelter anjing terlantar, Jabar sudah merasa bahagia bisa melepas anjingnya yang siap adopsi ke orang yang tepat, yaitu Opa Roem.
Jabar menceritakan prinsip “adopt don’t shop” yang menjadi bendera semua shelter binatang terlantar itu saat pertama kali mereka berkenalan. Saat itu, Karen masih duduk di kelas VII SMP, umurnya masih empat belas tahun.
Tapi sejak dua bulan ini, Jabar sangat sibuk. Jangankan sekali untuk bertemu muka, WA-nya Karen pun tidak satu pun yang dia balas. Karen merasa Opa Roem lebih beruntung darinya. Dua bulan lalu Jabar mengadakan farewell party bersama Opa Roem dan Bolt.
Saat itu Jabar mengatakan pada Opa Roem bahwa dia sudah menyediakan dua pelatih anjing profesional untuk Bolt. Dan, dia pun sudah membayar honor mereka hingga enam bulan ke depan.
Sekarang, Karen baru tahu dari Saijah kalau Jabar sedang sibuk untuk sebuah proyek besar. Rodanya Jabar sedang berputar di atas, dalam hati Karen ikut bahagia. Wujudnya Jabar sekarang menjelma jadi kotak-kotak. Dua atau tiga kali dalam sepekan, Jabar mengirimi Karen paket-paket berisi alat melukis.
Jauh sebelum hujan paket dari Jabar, Karen juga mendapatkan badai-badai bingkisan yang lebih membahana. Pakde Gono, Budhe Widuri, dan Paklek Anto mengirimi paket untuk Karen dan Mama. Mereka bergantian mengirim makanan, bunga, buah-buahan, buku-buku, cinderamata, dan juga uang. Mereka adalah kakak dan adik dari almarhum papanya Karen.
Tapi sayang seribu sayang, sejak papa Karen wafat, Mama melarang Karen untuk berhubungan dengan mereka. Mama Karen mengatakan pada Karen bahwa, mereka membuat hatinya jadi tambah sedih. Mama Karen selalu teringat suaminya jika mendengar nama mereka.
Karen belum mengucapkan terima kasih pada mereka. Supaya Mama tidak tambah sedih, Karen selalu meng-iya-kan semua yang Mama pinta. Karen hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada mereka dalam bentuk doa.
***
SUDAH dua tahun belakangan ini, Youku duduk di atas lemari. Di sana dia seolah-olah sedang mengamati salah satu dari dua lukisan yang tergantung di dinding.
Youku tidak tahu, bahwa tepat di bawah lemari tempatnya duduk kini terdapat dua kantong plastik besar berisi cat food yang dibawakan Saijah tadi siang. Oleh-oleh untuk Warhol itu belum sempat dipindah ke dapur.
Youku juga tidak tahu, (atau mungkin berlagak-lagak tidak tahu?) di bawah lemari itu juga berjajar tiga kantong plastik gembrot-gembrot yang berisi belasan teman sebangsanya. Calon teman-teman Youku itu masih berdesak-desakan di dalam kantong plastik. Karen belum sempat mencoleknya, apalagi mengeluarkan mereka dari kantung plastik.
*
Rumah Karen terbilang rumah tua. Almarhum Papa memang menyukai rumah bergaya Belanda. Langit-langit di kamar Karen berjarak hampir empat meter dari ubin. Kipas angin tua berbaling-baling besar menggantung tepat di tengah-tengahnya. Dua jendela berukuran besar di kamar itu menghasilkan sirkulasi udara yang baik, meski tanpa pendingin udara.
Di lantai dekat jendela kamar itu, berjajar beberapa bundel majalah lama koleksi Mama. Tumpukan bundel majalah itu menindih bentangan kertas karton manila yang siap dipotong-potong.
Di sana juga masih berjajar dengan rapi alat lukis, dua mug berisi alat tulis, dua papan palet, dan setumpuk potongan kertas kecil seukuran kartu ucapan yang siap dilukis.
Jika ditarik garis lurus dari jendela kamar, masih ada tumpukan karton ukuran setengah plano. Jika dilihat lagi lebih dekat, tumpukan karton itu dalam kadaan sudah megar. Sudut-sudut tumpukan karton itu ada yang mulai mengeripik. Di bawahnya diberi alas plastic board yang sudah digarisi kapur anti rayap.
Di setiap lembar karton, dilapisi kertas roti berselang-seling. Masing-masing lembaran diberi silica gel. Ada belasan post-it kuning nongol ke arah luar dari antara tumpukan karton yang sudah megar itu.
Di bagian paling atas tumpukan karton, Karen melapisi lagi dengan karton canson warna broken white. Di karton canson yang bertampang dekil itu Karen menuliskan kalimat “RAPIKAN KEMBALI SETELAH DIBUKA!” Karen menulisnya dengan huruf kapital, menggunakan pensil 2B. Lalu ditindih dua batu bata.
Dengan begitu, Karen berharap tidak ada seorang pun yang berselera melihat apa yang tergambar di dalam tumpukan karton yang sudah megar itu. Dengan kalimat tadi, Karen ingin mengecoh, bukan melarang.
Hanya Youku yang tahu, kalau Karen sudah memasukan kode-kode rahasia di dalam tumpukan karton yang sudah megar itu. Kode itu terbuat dari lidi yang sengaja ditekuk sampai hampir patah. Youku hafal betul di lembar keberapa lidi lemah-lunglai itu bersembunyi.
Saban awal bulan, Karen akan mengganti lidi lemah-lunglai dengan hati-hati. Dan benar saja, di setiap bulan itu dia tidak pernah menemukan satu batang pun lidi yang patah.
Tumpukan karton yang sudah megaar itu aman seratus persen. Mama, Mbok Yat, atau Saijah (yang beberapa kali masuk ke kamarnya, bahkan pernah rebahan di tikar pandan) tidak pernah membuka. Apalagi Warhol.
Sejak masih kecil Warhol sudah dilatih untuk menguasai halaman rumah (termasuk dua batang pohon rambutan), halaman belakang, ruang tamu, ruang makan, ruang tengah serta dapur.
Singgasana kerajaannya adalah keranjang rotan. Butuh pengawalan ekstra dari Karen dan Mbok Yat, saat mereka mau membersihkan lantai di ruang tengah itu. Sebab posisi keranjang rotan Warhol sudah harga mati. Tidak bisa digeser-geser lagi. Jadi, Warhol pun tidak akan pernah tahu tentang tumpukan karton yang sudah megar itu.
Di tumpukan karton yang sudah megar itu, Karen menggambar kisah masa lalunya. Kehidupan masa kecilnya dia gambarkan secara runut, detail, dan dilengkapi cerita.
Karen hanya menceritakan apa yang dia ingat. Yang tidak dia ingat, tidak akan menjadi bagian cerita. Tapi, kalau ada kejadian yang samar-samar dalam ingatan, dia masih coba menanyakan pada Mama.
Jika ada pertanyaan yang dijawab Mama muter-muter, ke sana ke sini, belok entah kemana, atau pertanyaan A dijawab Z, Karen membiarkannya. Menurut Karen, Mama adalah seorang pencerita yang baik.
“Biarin aja, makin muter-muter jawaban mama, malah bikin ceritanya makin ajaib,” kata Karen menguatkan dirinya sendiri. Jadi dalam tumpukan karton yang sudah megar itu, Mama memberi pengaruh yang besar.
Papanya juga begitu. Pada seperempat awal cerita dalam tumpukan karton yang sudah megar itu, pengaruh Papa terasa kuat.
*
Kisahnya dimulai saat Karen kecil untuk pertama kali melihat buah rambutan merah yang bergerombol di atas pohon.
Yang sekilas diam tidak bergerak, dan tidak menarik, selalu menyimpan kejutan.
Itu cerita Papa Karen. Bukan cerita Karen, bukan juga kesimpulan dari narator cerita.
Papa mengajak Karen menggali tanah di bawah akar pohon rambutan di depan rumah. Dari situ Papa bercerita tentang batang pohon dan daun rambutan. Karen kecil melihat batangnya sekilas sama saja dengan pohon-pohon lain.
Karen kecil memperhatikan tandan bunga rambutan yang masih tersisa. Lalu Papa membuka kulit rambutan yang berwarna merah rambutan, membelah daging buahnya yang berwarna putih rambutan, dan bijinya yang berwana krem rambutan.
Dari situlah untuk pertama kali Karen mengenal jenis warna yang tidak ada di dalam kotak pensil warnanya.
Karen pun melukiskan bagaimana serunya duduk di leher Papa yang sedang berlarian di halaman. Dia gambarkan bagaimana Papa meringis saat berlari kencang. Tidak ada pilihan lain buat Karen kecil selain menjadikan rambut Papa sebagai pegangan tangan.
Karen membuat fragmen kecil-kecil dalam bentuk panel-panel seperti komik untuk menggambarkan hubungannya dengan Mama. Mama kan yang paling banyak ngomong, jadi Karen melengkapinya dengan balon-balon dialog, mirip komik.
Misalnya, saat dia mulai belajar huruf dan angka dengan Mama. Atau saat Karen membantu Mama yang sedang membuat kliping dari majalah dan koran.
Di bagian cerita hari pertama dia masuk sekolah, Karen menempel potongan lembar buku bergaris tiga yang biasa digunakan untuk menulis tebal tipis. Di sana Karen menggambarkan bagaimana senangnya jadi anak sekolahan.
Di dalam tumpukan karton yang sudah megar itu Karen juga menggambarkan pengalaman pertama Karen mencorat-coret dinding rumahnya dengan krayon.
Fragmen saat kehadiran Warhol di rumah itu juga ada. Karen menggambarnya dengan pensil, arang, dan cat air warna hitam serta putih. Di bagian fragmen itu, Karen memberi judul: WARHOL DATANG, PAPA PERGI.
Saat menggambarkan adegan itu, Karen sering merasa letih. Dia gambar semua adegan itu secara runut, dengan warna monokrom: hitam, abu-abu, dan sapuan cat air putih.