The Carrot Can Fly

Yesno S
Chapter #10

Bab. 10. BKDTDTSDK

KAREN terkejut melihat Saijah asyik tidur-tiduran di kamarnya. Di atas tikar pandan dua lapis, Saijah membuka-buka koleksi majalah lama Mama sambil bersenandung da-da-da-da-da-da-da-da-da dengan suara rendah, mirip potongan melodi Bad Guy, Billie Eilish. 

Sebelum masuk kamar, Karen menduga teman baiknya sedang menahan derita rasa sakit di perutnya hingga tertidur.

Kejutnya bertambah-tambah saat Karen melihat segelas sari gula asam masih utuh di atas meja belajar. Diraihnya bantal kecil, lalu Karen membantu bantal kecil itu terbang ke arah kepala Saijah.

Yang punya kepala berlagak mengaduh dengan gaya lebay, dan menyampaikan terima kasih sudah diperbolehkan istirahat di kamar Karen. Satu hal yang amat jarang terjadi.

Kalo gue enggak kram begini, mana boleh rebahan di tikar ajaib ini,” kata Saijah memberi alasan.

“Jadi tadi lo itu ala-ala sakit kram? Biar Mbok Yat bantuin bawa buntelan lo yang gede-gede itu?”

“Serius, Ren. Enggak enak badan gue tiba-tiba....”

Sejak Saijah tiba di rumahnya tadi siang, Karen belum banyak bicara dengan Saijah. Setibanya tadi, Saijah mengeluhkan badannya tiba-tiba lemas, perutnya terasa mual serta kram.

Alasan itu pun Karen dengar dari Mbok Yat yang tadi tergopoh-gopoh membawakan oleh-oleh buat Warhol dari halaman rumah. Kebetulan, tadi siang Mbok Yat memang sedang berada di depan. Setelah mengangkat semua oleh-oleh itu, Mbok Yat langsung membuatkan minuman gula asam.

Karen melirik ke arah meja belajar. “Gula asam lo udah jadi bubur tuh.”

Saijah menutup majalah dan kembali melingkar di atas tikar pandan. “Serius, badan gue enggak enak nih.”

“Diminum dulu, baru tidur lagi,” kata Karen sambil membawakan minuman gula asam yang mulai mengental itu untuk Saijah.

Akhirnya Saijah bangkit, lalu meminum seperempat gelas gula asamnya. Saijah seperti teringat sesuatu, dan kembali rebah di tikar. “Gue mau tanya serius soal malaikat kalem lo itu.”

“Dia orang, Sai. Punya nama,” kata Karen setengah protes.

 “Iya, Bang Jabar maksud gue.”

“Kenapa?” tanya Karen mendorong tubuh Saijah, supaya bergeser ke tengah tikar.

“Bang Jabar baek banget, Ren!” kata Saijah membetulkan posisi tidurnya ke tengah tikar.

“Lo itu mau nanya atau komentar sih, Sai?”

 “Ya kalo lo mau cerita gue siap jadi temen terbaik lo.”

“Tapi lo harus janji, percaya gue,” kata Karen mulai ikut-ikutan tiduran di atas tikar.

Iye.”

“Lo harus belajar mendengarkan apa yang dikatakan orang lain juga, Sai” kata Karen memunggungi Saijah.

 “Iye, iye.”

 “Lo harus mulai belajar menghargai orang bercerita. Lo harus pelan-pelan buang itu paham hidup keponisasi.”

Iye, janji.”

“Ini tiga kali gue ucapin ke lo ya, enggak apa-apa biar lo hafal. Bang Jabar itu abang gue. Bukan babang-babangan, bukan abang ketemu gede. Dan Bang Jabar memang mengganggap gue juga adiknya.”

“Tapi, Ren—“ 

“Tuh, kan....” potong Karen.

Saijah bangun dari tidurnya. “Gue cuma heran. Baiknya kebangetan banget sih malaikat kalem itu....”

Karen menarik bantal kecil dari tangan Saijah. “Harusnya yang heran itu gue.”

 “Permen sanca itu dari dia.”

“Gue taro di kulkas.”

“Itu oleh-oleh Warhol lima plastik juga dari dia. Dia titip manisan sanca sama uang buat beli oleh-oleh ke si Ron kemarin. Langsung gue beli tadi.”

“Dan lo tau, si Warhol dua bulanan ini cek rutin uang dari mana?”

“Bang Jabar juga yang kasih?”

“Iya siapa lagi?”

“Aduh, bener-bener kebangetan deh itu malaikat kalem....”

 “Gue musti ketemu Bang Jabar.”

 “Lo cari-cari dia kangen atau gimana, Ren?”

“Tuh, kan... Mulai lagi,” tukas Karen.

“Ye, kan nanya gratis kata lo tadi....”

“Ketemu langsung, buat ngomongin ini semua.”

“WA aja!” kata Saijah dengan mata berbinar, seakan-akan baru saja menemukan sebuah ide yang segar.

Udah dua bulan gue kerjain ide cemerlang lo itu. Enggak dibalas, Sai.”

“Coba lo tanya si Ron, Ren.”

Ngapain bawa-bawa si Ron. Banyak yang mau gue omongin. Kudu langsung ketemu, Sai.”

“Hmm.”

Musti ketemu.”

Berkali-kali Saijah meminta agar Karen tidak memotong dulu apa yang akan disampaikannya, apalagi menganggapnya sebagai orang yang mau tahu urusan orang lain, atau bahkan membuat keruh suasana. Ketika Karen memberi kesempatan, Saijah menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya.

“Menurut gue,” kata Saijah lagi, “Bang Jabar itu kan tipenya kalem, enggak receh omongannya, cool, misterius gimana gitu.”

Karen juga bangkit dari tidurnya. “Terus?”

 “Bang Jabar pengennya lo jadi bucinnya kali, Ren. Dia pengen lo yang ngejar-ngejar dia.”

 “Gue ulang sekali lagi, atau harus empat kali nih?”

“Kalian cuma bertemen. Enggak perlu lo ulang-ulang lagi. Gue tau, gue tau.”

“Ya itu. Ngapain bertemen ada istilah bucan-bucin segala,” wajah Karen bersungut-sungut.

 “Habisnya, kenapa dia sekarang malah ngilang gitu coba?” tanya Saijah.

Karen diam beberapa jenak. Seperti memikirkan sesuatu.

 “Dia sekarang tajir,” kata Saijah singkat.

 “Jadi doain aja dia makin tajmel, Sai,” kata Karen berharap Jabar semakin tajir melintir.

“Amin.”

“Bingung gue,” kata Karen sambil memeluk bantal kecil.

“Jangan bingung lah Ren. Kan kita enggak minta-minta ke dia. Dia aja yang baiknya kebangetan,” kata Saijah berusaha menenangkan.

 “Ya bantuan dia ini terlalu banyak, Sai.”

Kali ini Saijah hampir-hampir melompat dari tikar, “Aah. Gue tau! Gue yakin kakek itu!!”

Tadinya Karen merasa yakin akan mendapatkan orang yang tepat untuk bercerita. Tapi sekarang, dia merasa sudah melakukan kesalahan besar.

Saijah meneruskan apa pendapatnya tentang si kakek yang dimaksud tadi. “Siapa tau si kakek sebelah rumah lo itu kasih Bang Jabar warisan. Dia kan udah kasih anjing gratis, sekalian jadi relawan buat ngelatih....”

“Di mana lo nonton telenovela Maria Mercedes, Sai?”

“Segitu banyak platform, apa sih yang enggak bisa?”

“Jadi beneran lo nonton telenovela itu?”

“Sandiwara radio Tutur Tinular sama Satria Madangkara juga gue gali dari sono.”

“Jadi benernya, gue salah milih orang buat cerita.”

 “Gue juga bingung, Ren. Ide gue ya itu tadi. Bang Jabar dapet warisan Opa Roem.”

“Yang gue paling bingung, dia kasih macem-macem, tapi justru seperti menjauh....”

***

DHAKA melirik jam di telepon selulernya. Hampir pukul enam sore. Sudah hampir dua jam dia dan Ronaldo menunggu Saijah tanpa kabar berita. Lampu-lampu jalan mulai menyala. Dari jauh, belum ada tanda-tanda secuil bayangan pun yang melintasi aspal. 

Pesanan online mereka pun belum datang. Dhaka bergegas keluar dari minivan, lalu menghubungi driver pengantar pesanan mereka, dan, tentu saja dia manfaatkan untuk menelepon beberapa nomor lainnya.

Driver-nya bingung, Ron! Kita belum bayar sewa parkir di tanah kosong ini kali, ya?” canda Dhaka saat kembali masuk ke mobil.

“Mungkin driver-nya pikir lokasinya di Sri Lanka,” sahut Ronaldo sekenanya.

“OH. Saya baru ingat,” kata Dhaka lagi. “Kok sudah dua tahun kenalan dan sudah empat ngegarap empat project mural belum tau, kamu dari suku mana sih, Ron?”

“Telat lo, masa baru tanya sekarang.”

Dhaka tertawa, dan menunggu jawaban Ronaldo.

“Lo kalo chat kebanyakan ngegali info Karen doang sih....”

Sekali lagi Dhaka tertawa. Kali ini dia tidak lagi menunggu jawaban dari temannya itu.

“Nama gue aneh, ya, Ka? Gue Betawi campur Sunda. Sama Saijah juga tuh,” akhirnya Ronaldo bercerita.

“Oh.”

“Cuma almarhum babe gue itu gila bola banget,” cerita Ronaldo.

“Wah, sama. Tapi cuma jadi penonton....”

“Pas gue brojol, Ronaldo Luís Nazário de Lima masih bersinar di lapangan bola.”

“Wah menarik sekali. Lalu de Lima nama kamu itu?” tanya Dhaka.

“Babe pengennya gue jadi pemain bola. Ngelebihin si rambut kuncung itu.”

“Tapi, apa daya....”

“Apa daya badan bantet, udah bela-belain latihan mau ikut seleksi U16 sampe bolos sekolah sama belajar aja kurang, eeh… malah masuk ke tim Ulala.”

“Kalau Brazil punya Ronaldo de Lima aja bisa ngeboyong Piala Dunia 2002, harusnya kita yang punya Ronaldo de Lapan juga bisa lebih nih....”

Kalo inget bola suka inget babe gue, Ka.”

“Oh, kita ganti tema.” 

Ronaldo memiringkan kepala, seperti ingin berkontak langsung dengan mata Dhaka.

“Lo mau enggak gue temani parkir di halaman rumah Karen sekarang?” kata Ronaldo dengan membulatkan mata.

Dhaka membuang pandangan ke luar. “Lah, nanti tambah nyasar lagi driver-nya, Ron.”

“Ya, setelah pesenan kita sampe, deh.”

Dhaka terdiam, seperti memikirkan sesuatu, lalu menggelengkan kepala.

Combat bareng kita, Ka!” kata Ronaldo menyemangati.

Dhaka meraba-raba isi tasnya, langsung mengenakan Burhan, dan tidak memberi reaksi apa-apa..

Ronaldo meneruskan ajakannya. “Parkir di depan rumahnya Karen aja, jangan sampe masuk.”

Dhaka tidak memberikan reaksi apa pun selain membuang pandangannya ke luar.

Ngalir aja, yuk!” seru Ronaldo.

Sekali lagi Dhaka menggelengkan kepala.

***

Karen tahu, ketukan di pintu dua kali berulang adalah tanda Mama meminta Mbok Yat memanggilnya. Tak berpikir dua kali Karen langsung bergegas keluar kamar dan menuju ke kamar Mama.

Di kamar, Mama sudah mulai bisa duduk sendiri. Karen mendekat, dan duduk di kursi yang selalu setia di sana.

“Ih, Mama sudah bisa duduk sendiri....”

“Itu si Ijah mau nginap?”

Karen menahan tawa dan menggenggam tangan Mama. “Idih Mama, biar bahasa Inggrisnya sekata dua kata dia itu anak Jaksel, mana mau dipanggil si Ijah sih, Ma....”

Mama menggenggam erat tangan anaknya. “Namamu juga dulu Amanita toh?”

“Tapi itu nama kecilku.”

“Nama kecil Ijah apa?”

“Panjang, dan enggak penting, Ma!”

“Si Ijah juga dulu kecilnya ganti nama juga? Sama sepeti kamu?”

“Enggak tau juga sih, Cuma dia punya nama lain… Alaymenekehete.”

“Ada-ada saja anak sekarang namanya.”

“Aku juga anak sekarang, tapi namaku jadul-jadul.”

“Amanita itu bagus loh artinya.”

“Iya, tau!”

“Itu jamur paling beracun. Papamu almarhum kasih nama keberatan. Harus orang yang pinter banget baru bisa menerjemahkan nama itu punya arti yang positif dan baik. Tapi kan tidak semua orang begitu. Salah-salah orang menerjemahkan, bisa lain artinya....”

“Iya, mangkanya dulu aku sakit-sakitan kan pas Papa pergi....”

“Itu benar.”

Mangkanya aku sehat banget sekarang.”

 “Sekalian juga maksud Mama, nama ganti, suasana ganti. Biar Karen jadi anak Mama satu-satunya.”

“Dan Mama satu-satunya di dunianya aku....” Karen bangkit dan mencium kening Mama.

“Jadi, si Ijah mau nginap?”

“Enggak kayaknya sih, Ma.”

“Kalaupun mau menginap ya ndak apa-apa. Anak baik kok dia, meskipun bahasa Inggrisnya betinta belang....”

“Mama, ih.”

Lihat selengkapnya