KAREN menyalakan kembali lampu di ruang tamu ketika Mama meminta Karen agar semua lampu tetap menyala malam ini.
Mbok Yat sudah masuk ke kamarnya. Warhol sudah meringkuk dari tadi di keranjangnya. Tapi Mama minta ditemani lebih awal. Karen mengurungkan niat untuk memotong kertas karton jadi seukuran kartu ucapan.
“Pintu biar saja terbuka,” pinta Mama ke Karen untuk membuka pintu kamarnya.
Baru saja Karen mau mengambil dua gelas air putih untuk mereka berdua, Mama sudah memanggil lagi.
“Tolong Said Effendi disuruh nyanyi buat Mama ya, Ren,” pinta Mama sekali lagi.
Maksudnya, Mama meminta Karen menyalakan CD Said Effendi, legenda musik Melayu Indonesia.
Perlu beberapa menit Karen mencari CD yang sudah lama itu. Mama pun sudah lama sepeti tidak lagi berselera dengan musik sejak penyembuhan sakitnya. CD player di ruang makan itu mulai on. Lagu Yale-yale pun terdengar. Mama mengajak Karen duduk di sampingnya, di atas kasur.
“Tumben banget Mama sampe buka jendela segala,” kata Karen.
Mama membelai kepala Karen. “Biar cocok sama lagunya, Ren. Ini lagu memuja alam raya....”
Karen senyum-senyum sendiri melihat Mama seperti terbang ke masa lalunya. “Mama ingat apa kalo denger lagu ini?”
“Ingat masa kecil.”
“Kalo Karen inget suaranya Zayn, Ma. Suaranya idih-idih gimana gitu ya, Ma....”
“Penyanyi itu mirip suaranya Said Effendi?”
Karen menggelengkan kepala. “Nuansanya aja yang mirip, Ma.”
Mama tersenyum sambil membuang pandangan ke arah jendela yang terbuka lebar.
“Jadi waktu masih kecil Mama dengerin Zayn versi lama ini, enggak dengerin tembang Jawa, Ma?”
“Itu pasti. Lagu yang modern di radionya mbahmu juga ada.”
“Oh iya, ya. Lagu dangdut sama Melayu dulu termasuk modern ya, Ma....”
“Nah, yang ini lagu Jauh di Mata,” kata Mama dengan mata berbinar ketika lagu berganti.
“Karen belum lahir itu, Ma.”
Mama tersenyum.
“Dulu Mama enggak punya cita-cita jadi biduanita kah?”
“Kepikirannya jadi dokter aja. Cuma waktu mendekati ujian, Mama malah belok ke antropologi.”
“Nah, di situ ketemu almarhum Papa, kan?”
“Seangkatan tapi kan lain jurusan. Kita sama-sama telat kawin kan. Terus dapetin kamu ya telat juga. Lama banget kosongnya. Eeh taunya... pas lahir, anaknya sehat dan kulitnya bersinar sekali.”
Lagu Seroja sekarang mengalun. Mama meminta Karen untuk mendengarkan lirik lagunya. Mama memejamkan matanya selama lagu itu mengalun. Mau tak mau, Karen pun menyimak lagu itu.
Menurut Karen, ini adalah strategi Mama untuk tidak membahas lebih dalam tema obrolan almarhum Papa, barang secuil pun. Karen memilih tiduran di samping Mama yang masih duduk di atas kasur sambil memangku bantal.
Karen belum berniat menagih janji pada Mama. Masih segar dalam ingatan, Mama pernah mengatakan bahwa pada usia Karen yang ke tujuh belas akan menjawab semua pertanyaannya. Termasuk pelarangan permen sanca beredar di rumah dan juga semua tentang Papa.
Tapi sejalannya waktu, Karen pun mulai tahu sendiri jawaban dari semua pertanyaan yang selalu terlontar di masa kecilnya itu.
Lagu Bahtera Laju mengalun. Mama sudah membuka kembali kelopak matanya.
Mama membelai rambut anaknya. “Kamu masih mau ngambil Jurusan Hubungan Internasional nanti, Ren?”
“Belum tertarik yang lain, Ma.”
“Kita sama-sama perjuangkan, ya. Jangan ulangi lagi kegagalan waktu SMP.”
Karen menatap wajah Mama dari bawah. “Pasti, pasti....”
Mama memandangi wajah Karen.
“Bukan gagal kali, Ma. Kan tetap sekolah....”
“Fokus saja belajar.”
“Waktu itu kan Karen sibuk jagain Warhol,” kata Karen memberi alasan
“Halah, dulu itu kamu banyak izin sekolah bukan cuma kalau Warhol sakit. Tapi tiap Mama kambuh pasti kamu bolos. Dan anehnya, sampai-sampai kalau Mbok Yat masuk angin aja kamu pulang sekolah lebih cepat.”
“Karen kan cuma punya itu, Ma....”