MY BRO sedang asyik bicara dengan Tatang (asisten pribadi Bop), ketika Dhaka jalan mendekat ke arah paviliun. Keduanya terlihat sangat akrab sekali. Sudah tiga tahun ini mereka bersahabat, apalagi umur mereka masih sepantar.
Dhaka membiarkan My Bro dan Tatang ngobrol di bangku taman samping paviliun. Bop masih duduk di meja belajar ditemani beberapa diktat dan buku-buku, ketika Dhaka masuk ke paviliunnya.
Dhaka menyentuh bahu Bop. “Jadi selama Dhaka rapat, Bop bukan istirahat toh....”
Bop menoleh ke arah Dhaka. “Namanya orang baru, jadi masih belajar mengeja huruf.”
Dhaka mengusap-usap punggung Bop. “Sudah lancar membaca rangkaian kalimat panjang, Bop?”
“Malah sering kehabisan bahan bacaan.”
“Hebat Louis Braille, ya Bop.”
“Salut, Monsieur Braille!” seru Bop penuh semangat.
Dhaka mengambil senter laser, lalu mengalungkannya di leher. Dengan lihai dia menarik kursi roda, dan membantu Bop beranjak dari kursi belajarnya.
“Sebelum tidur, kita room tour dulu ya, Bop,” bisik Dhaka sambil membantu Bop duduk di kursi roda.
“Ini non-rec kan, Mas Dhaka?” tanya Bop sedikit khawatir akan ada yang mendokumentasikan dalam bentuk video.
“Vlog room tour sudah banjir di YouTube. Rejeki kita bukan di situ, Bop. Urusan kita main-main dengan imajinasi.”
“Bukan room tour-nya yang saya kurang suka, Mas Dhaka,” kata Bop lagi
“Iya, Bop. Paham.”
“Mendokumentasikan kakek-kakek buta di kursi roda yang mencoba melihat lukisan dalam bentuk vlog itu yang saya kurang suka. Jelek-jelek gini kan pernah melek. Yang namanya menjual kesedihan banyak viewer-nya, ada uangnya....”
“Tenang,” tegas Dhaka lagi, “dijamin cuma kita berempat di sini lepas HP. Pak Satpam kan tugasnya di pintu gerbang sana.”
“Nah! Lega kalau begitu.”
“Aman.”
“Jadi, kita muter-muter ruangan sepetak ini saja atau....”
“Kita lihat saja nanti deh, pokoknya seru....”
“Mas Dhaka lihat dengan mata. Saya lihat dengan hati saja.”
“Justru yang terakhir itu yang paling penting.”
Dhaka membantu mendorong kursi roda Bop untuk melihat-lihat mural hasil karyanya. Biasanya Bop paling nyelekit kalau mengkritik karya Dhaka.
Dhaka mendorong kursi roda ke arah pintu. “Kita mulai dari dinding luar dulu ya, Bop.”
Bop duduk di kursi roda dengan nyaman. “Katanya Tatang nunggu di sana.”
“Sekalian aja kalau dia mau ikutan.”
*
Dhaka menyapa My Bro dan Tatang yang sudah dalam posisi siaga di dekat pintu. My Bro memberikan update rumah kosong yang jadi incaran Dhaka.
“Baru saja yang punya rumah kosong itu kasih jadwal. Tiga hari ke depan, Mas Dhaka dan Bapak bisa ketemu mereka setelah makan malam,” terang My Bro pada Dhaka.
“Tapi kita bukan ketemu di rumah kosong itu kan?” tanya Bop.
“Bukan, Pak. Info tempat ketemunya segera menyusul,” jawab My Bro.
“Kalau ketemu di rumah kosong itu Dhaka semprot-semprot sekalian...,” canda Dhaka.
Mulanya Tatang ingin menggantikan Dhaka mendorong kursi roda. Tapi Dhaka hanya meminta My Bro dan Tatang untuk mematikan lampu di sekitar paviliun.
Kompleks Tempurung Kelor temaram. Dhaka mulai menerangkan pada Bop apa yang dia gambarkan di dinding pertama, di luar paviliun itu.
Dhaka menstatiskan kursi roda. “Semua gambarnya sudah Dhaka banget. No Banksy, no Andy Warhol, mboten Barquiat, dudhu gayane Sofles, bukan Fintan Magee....”
Bop menyumbang no dua lagi. “No Basuki Abdullah, no Hendra Wijaya?”
“Dua maestro legenda itu bikin mural juga?” tanya Dhaka.
Bop balik bertanya. “Oh iya ya, ini konteksnya dinding ya?”
“Lanjut, dikit lagi, ya. Bukan Harling Bassukarno, bukan Darbotz. Juga sama sekali bukan Naufal Abshar, bukan juga gaya Popo lah pokoknya.”
“Itu semua tokoh besar seni rupa, di zamannya masing-masing,” tegas Bop.
“Justru!” seru Dhaka.
“Salam hormat dari orang buta yang sudah tidak bisa melukis dan melihat lukisan....”
“Hush!”
Bop seperti kaget dengan seruan Dhaka.
“Bop jangan begitu terus lah. Kita maju ke depan, biar roda di kursi ini jalannya lancar...,” kata Dhaka dengan bahasa metaforiknya.
“Oke, oke.... Ayo dorong kursi roda sampai ke mana pun. Optimis!”
“Justru karena mereka semua orang hebat, Dhaka hormat pada mereka semua. Yang belum kesebut jumlahnya lebih banyak lagi. Semuanya hebat-hebat,” lanjut Dhaka.
Di masa lalunya, Bop juga seorang pelukis yang kemudian berbelok menjadi art dealer. Pengetahuannya tentang seni, dalam hal ini seni rupa, menjadi modal baginya untuk berkiprah di dunia pameran dan koleksi lukisan serta benda-benda seni termasuk berlian.
“Siapa idola Mas Dhaka?”
“Semua! Semua keren! Apalagi lukisan-lukisan karya Bop,” kata Dhaka lagi, “tapi OGAH lagi nyontek gaya siapa pun. Termasuk karya Bop sekali pun.”
Dhaka menyalakan senter lasernya.
“Kita mulai di sini. Bop tau, Dhaka gambar apa di dinding ini?”
Mata Bop yang sudah tiga tahun tidak berfungsi itu mengerjap-ngerjap. Bop menggelengkan kepala.
“Belum yakin bisa nebak. Namanya juga orang baru. Mas Dhaka cerita aja muralnya tentang apa....”
Dhaka menunjuk gambar di dinding itu dengan senter lasernya. “Dhaka gambarin kumpulan orang buta warna membuang kacamata enchroma-nya....”
“Lhoh kok dibuang?”
“Dibuang ke angkasa.”
“Lalu kacamata buta warna itu terbang dengan gagangnya....”
“Persis!”
Di dinding itu, Dhaka melukis dengan gaya surealis.
“Ini kumpulan orang-orang senasib dengan Dhaka. Mereka sudah workshop sebulan di sini, di Tempurung Kelor kita ini, Bop!” seru Dhaka penuh semangat.
“Mereka melukis juga?”
“Tidak semuanya seniman. Tidak semuanya bercita-cita jadi seniman. Mereka melukis tidak harus jadi pelukis, toh. Terapi bareng aja di sini.”
“Seperti apa gambarnya?”
Dhaka mengarahkan senter lasernya ke tembok. “Gambarnya, kumpulan penyandang buta warna itu mau bebas melukis tanpa harus sesuai dengan cara orang kebanyakan. Mereka mau oles warna ungu, yo wes ungu. Bukan HARUS merah. Harus warna ini itu yang sesuai dengan orang kebanyakan. Tapi kalau mereka mau bikin warnanya pas, yo wes sumonggo, tapi mereka terbebas dari tekanan. Kita mau bebas dari bullying.... Mau bikin warna daun tidak hijau ya boleh aja, kalau pas ekspresinya mau ke warna lain.”
“Saat melukis mau warna apa, itu yang mereka keluarkan di atas tembok, begitu kan?”
“Betul banget itu Bop.”
Bop menarik napas, dan mengerjapkan mata, seperti memikirkan sesuatu.
Dhaka meneruskan ceritanya. “Ini ada beberapa orang buta warna yang menggambar lampu merah salah. Ini dari visi orang buta warna loh, ya. Tapi mereka kan hafal urutan lampu merah itu apa saja dari atas. Kita kan buta warna, tapi hafal kalau lampu hijau itu ada di paling bawah. Tuh, gambarnya mereka tidak saling tabrak.”
“Mereka naik kendaraan mau cari jurusan kuliah di universitas yang memperbolehkan calon mahasiswanya buta warna?”
“Bisa!”
“Tidak semua dari mereka mau jadi seniman grafis kan?” tanya Bop.
“Mau jadi penulis bisa. Jadi mereka pede saat mendeskripsikan soal warna. Gagal jadi dokter, kenapa tidak jadi businessman sekalian. Dari kecil-kecilan, jadi gede-gedean. Mereka tidak akan bia menjadi dokter, tapi bisa bikin rumah sakit sendiri.”