Hari berikutnya di sekolah. Di tengah angin musim panas, aroma datang berkibar menerobos ke ventilasi kelas dengan tenang.
“Nadia kamu harus menolongku,” kata Gisel panik saat baru datang di kelas.
“Eh? Ada apa?”
“Kamu sudah kerjain PR Matematika belum?”
“Sudah,” jawab Nadia datar.
“Aku belum kerjain. Aku nggak tahu materi itu sudah dipelajari atau belum.”
“Sel, kita sudah pelajari materi ini dari semester sebelumnya.”
“Eh kok aku nggak ingat sama sekali.”
Nadia mengeluarkan buku berisi PR Matematika lalu menyerahkan pada Gisel. “Ini kamu tulis cepat. Mumpung kelas belum dimulai.”
Gisel memeluknya. “Syukurlah, aku tertolong.”
Nadia melepas rangkulan Gisel. “Sudah sudah. Cepat tulis sana! Sebelum kamu berada dalam masalah lagi.”
“Hihihi.”
Selagi Gisel menulis catatan PR Matematika.
Jefry datang menghampiri bangku mereka.
“Selamat pagi,” sapanya di bangku Nadia dan Gisel.
Nadia bertanya. “Jefry, ngapain kamu kesini pagi-pagi?”
“Bawain kamu makanan, aku bawa bubur ayam buat sarapanmu.”
“Aku sudah sarapan, kamu saja yang makan.”
Jefry mengeluarkan jurus merengeknya. “Ayolah, makan ini biarpun sedikit. Kamu jangan sampai nggak makan dengan alasan diet segala.”
Nadia menahannya. “Kamu keluar deh, sebelum aku panggil ketua kelas kalau kamu mengganggu kami.”
“Aku sudah izin sebelum masuk kes ini.”
“Jef, kayaknya kamu salah kelas deh,” sahut Gisel yang memperhatikan tingkahnya sedari tadi.
“Baiklah. Aku simpan ini.” Dia meletakkan sebungkus makanan dan sebotol air mineral di atas meja Nadia. “Kamu harus makan yah!”
“Umm. Makasih.”
Jefry keluar dari kelas Nadia.
Setelah punggung Jefry sudah menghilang dari pandangan, Nadia menawarkan bubur ayam tersebut pada Gisel.
“Ada modus apa dia baik begitu? Mencurigakan,” kata Gisel menyeledik.
“Kamu belum sarapan kan?” sambil menyodorkan kantongan makanan pada Gisel.
“Kamu tahu saja kalau tadi aku cuman minum air putih saking buru-burunya.” Gisel mengambil dan membukanya, ia mulai menyantap bubur ayam dari Jefry.
Entah karena merasa bertanggung jawab atau ada hal lain, Jefry tidak ingin melihat Nadia menderita karena urusan diet. Sebenarnya dia tak perlu melakukan itu.
**-**
Atas permintaan Samuel, Jefry menemui anak IPA itu di lantai tiga sekolah. Keduanya berdiri sambil berpegang pada tembok pembatas.
“Hei, ada apa?”
“Aku mau minta pendapatmu.”
“Apa itu? Soal cewek imutmu?”
“Hum. Apa pendapatmu tentang... seseorang yang memberikan Love pada postinganmu, tapi kamu tidak berteman dengan akun itu. Apa menurutmu dia stalker?”
“Ya itu sudah pasti dia stalker,” jawab singat padat jelas dari Jefry. “Ada yang stalking kamu?”
“Iya. Hm, sepertinya. Dia menanggapi Love postingan lamaku di medsos.”
“Mungkin dia salah satu fansmu.”
“Kurasa tidak. Maksudku, dia adalah cewek imut yang sebelumnya kucerita sama kamu.”
“Oh ya?”
“Ya. Aku sudah bertemu dengannya nggak sengaja beberapa kali, dia sedikit pemalu. Maksudku dia selalu buru-buru setiap melihatku. Semalam aku baru lihat notif medsosku, akunnya memberi tanggapan di postinganku.”
“Kamu yakin itu dia? Dia kelihatannya malu-malu kucing.”
“Iya, dari nama dan foto profilnya,” jawab Samuel. “Aku jadi bingung bagaimana nanggapinnya. Makanya aku mau minta pendapatmu.”
“Itu seperti kalian diam-diam saling stalk.”
“Kalau benar ternyata dia stalking aku. Apa aku harus memulai chat duluan?”
“Itu tidak salah. Sekarang kamu sudah tahu akunnya. Biasanya cewek itu gengsi untuk memulai chat duluan, bisa jadi dia lagi kirim sinyal ke kamu agar kamu texting dia di akunnya.”
“Begitu yah.” Samuel mengangguk-angguk paham. Kenapa itu tak terpikirkan olehnya. “Otakmu konek banget soal gituan.”
“Aku lebih dulu makan garam dari kamu.”
Samuel tertawa.
“Bagaimana kalau menunggu gerakan dia selanjutnya?”
“Nggak usah menunggu, nanti keburu dia menghilang.”
“Aku benar-benar nggak suhu disini. Ini tidak seperti belajar piano, cukup pelajari chord memahami not dan kamu akan tahu secara alami.”
“Aku jadi penasaran, siapa cewek yang berhasil membuat kamu tertarik kayak maghnet.”
“Jef, Bisakah kamu ceritakan sedikit tentang Nadia anak IPS?”
“Nadia?” Jefry terkejut, ia mengarahkan pandangannya lalu menjawab pura-pura. “Aku nggak tahu banyak. Kami hanya tetangga kelas. Ada apa dengannya?”
“….”
TengTengTeng….
“Yaa... nanti kita bicara lagi soal itu. Aku harus ke lab.”
“Santai-santai.”
“Okey Jef, makasih banyak pendapatmu.”
“Ya, sama-sama. Aku tunggu info selanjutnya.”
**-**
Keesokan harinya. Seperti hari sebelumnya, Jefry mampir ke kelas Nadia sebelum masuk ke kelasnya. Edisi kali ini, Jefry membawa brownis manis lengkap dengan susu kotaknya.
Nadia memakannya tak lupa tetap berbagi dengan Gisel. Rasanya mereka berdua bisa berhemat tabungan sarapan tiap pagi.
Dalam pekan itu, pernah sekali Nadia ingin menjailinya dengan meminta cake yang banyak agar dia dapat berbagi dengan teman kelas yang lain, dia sengaja ingin membuat Jefry bangkrut sekalian. Namun hasilnya nihil, Jefry malah semakin bersemangat.
“Nad, aku rasa kamu harus sedikit tegas pada Jefry, agar dia tidak bertingkah seperti itu terus,” kata Gisel. “Aku juga capek makan bubur ayam, kue brownis. Bisa nggak aku request sama Jefry untuk mengganti menu paginya?”