Sepulangnya dari piknik, Jefry mengendap masuk ke kamarnya. Namun dicegat oleh Papinya.
“Jefry....”
Jefry menoleh ke arah suara tepat di ambang pintu.
“Apa masalahmu dengan kamarmu?” Hardik si Papi. “Kamu bukan anak kecil lagi! Kamu sudah SMA, masa nggak bisa rapiin kamarnya dulu sebelum pergi.”
“Oke oke aku akan membersihkannya. Pi,” jawab Jefry cengengesan.
“Tidak bisakah kamu melakukan sesuatu dengan benar?”
Ketika Jefry membuka pintu kamar, dia disambut dengan bungkusan paket berwarna plastik hitam. Selanjutnya ia membuka bungkusan tersebut
“Selimut?”
Papinya bersuara. “Oh itu pesanan Papi,” sahutnya. “Waktu itu Papi menonton tv dan salesnya mengatakan selimut ini sangat nyaman dan empuk. Karna Papi penasaran, jadinya Papi memesan satu,” tuturnya. “Bagaimana kalau kita coba selimutnya?”
‘Astaga, ada-ada saja Papi. Kenapa dia semakin parah.’ – Jefry.
**-**
Nadia meraba kantong jaketnya, ia menarik keluar karang berbentuk HATI pemberian Jefry. Cukup lama dia memegangi pemberian Jefry tersebut sebelum meyimpannya di laci nakas.
Sekarang muncul pertanyaan dibenaknya. ‘Apa maksud Jefry memberikan itu padanya?’
**-**
Sementara itu suasana tegang di rumah Samuel. Samuel melangkah melewati Ayahnya tengah duduk di sofa. Ayahnya menegur Samuel sewaktu ia akan masuk ke kamar tidurnya.
“Kemana saja kamu pergi bersama teman-temanmu?”
“Piknik.”
“Kamu sudah menentukan universitas mana yang akan kamu pilih?”
Samuel terdiam. Ayahnya hanya perduli pada akademik saja, pikirnya.
“Aku belum memikirkannya,” jawab Samuel berlalu dari pandangan Ayahnya.
“Sam, Ayah membuang brosur kompetisi piano junior di kamarmu.”
Samuel menunduk kaku.
“Untuk apa kamu menyimpannya? Itu nggak ada gunanya lagi. Lebih baik kamu mencari jalan lain yang lebih punya peluang besar.”
Tanpa menjawab sepatah kata, Samuel segera masuk ke dalam kamarnya. Dia mencharger ponsel dan menaruhnya di nakas. Tanpa berganti pakaian, ia lantas menjatuhkan tubuhnya di kasur.
Kompetisi piano tingkat junior adalah kompetisi yang pernah Samuel ikuti sejak umur tiga belas tahun. Namun dia gagal, dia hanya mencapai babak enam belas besar. Dia sadar masih banyak yang bagus dan lebih hebat dari dirinya, kemampuannya masih standar. Menurutnya.
Sejak saat itu orang tuanya tidak memberinya lagi dukungan dan kesempatan untuk melanjutkan bakatnya dibidang musik khususnya piano. Orang tuanya mempunyai persepsi, jika Samuel lebih baik mencari kesempatan lain agar dia tidak jatuh lebih dalam karena anaknya sudah gagal.
Namun Samuel memiliki pikiran sendiri. Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda, harusnya dia lebih meningkatkan skillnya bukan menyerah. Harusnya dia tetap berpartisipasi lebih banyak kompetisi. Tetapi dorongan orang tuanya lebih besar, ia tidak memiliki kekuatan untuk melawan.
Bahkan orang tuanya menekan Samuel agar sukses dalam akademik. Dan itu telah dia lakukan yaitu hanya belajar dan belajar sepanjang hari pada hari-hari itu. Sesuatu terpaksa mendorongnya melakukan itu, hingga menghasilkan nilai tinggi. Namun dalam hatinya, itu bukan apa-apa. Dia telah kehilangan kepercayaan dirinya untuk sementara waktu dan dia telah berusaha untuk mengembalikan itu.
**-**
Dua hari kemudian setelah piknik bersama. Tepat hari senin.
“Nad, kamu nggak mau mengatakan sesuatu padaku.”
“Sesuatu apa?”
“Apa yang kamu bicarakan dengan Jefry waktu di pantai?”
“Tidak ada, aku hanya memberinya air.”
“Air laut?” timpal Gisel. “Kamu perhatian sekali,” ledeknya. “Aku pernah kepedisan saat makan rujak, boro-boro dikasi air sama kamu, yang ada kamu malah tertawain aku.”
Nadia balas tertawa lebar. “Gisel, Please deh. Aku hanya kasian ngeliat mulutnya terbakar,” kilahnya.
Gisel tidak akan berpersepsi tentang Jefry, dia hanya akan berbicara tentang Samuel.
“Kamu tahu, Samuel memperhatikan kalian berdua.”
“Oia? Apa dia cemburu.”