The Chain Of Youth

Haidee
Chapter #12

Rumor II

Waktu janjian telah tiba di gerbang sekolah tepat sepulang sekolah. Kedua murid bertemu di tempat yang mereka tentukan. Tanpa mengulur waktu, keduanya langsung pergi berboncengan dengan mengendarai scooter matic abu-abu.

Keduanya mengambil kursi di dalam bioskop sebelum film dimulai, duduk sangat dekat satu sama lain. Ini membuat sedikit kecanggungan. Tak lupa satu pop corn ukuran sedang duduk di antara kursi mereka.

Keduanya serius menonton ke layar lebar. Hanya Samuel sesekali menoleh menatap wajah Nadia dari spot samping sambil memasukkan pop corn ke mulutnya. Kali ini Nadia tak menyadarinya karena saking seriusnya menonton.

Hingga Samuel tak sadar kalau Nadia menoleh padanya. Sontak membuat dia terperangah.

“Sam, layarnya ada di depan.”

Gugup akibat ketahuan, Samuel lantas mengubah posisi pandangannya ke depan layar lebar.

Selanjutnya, pelan-pelan Samuel mendekatkan pop corn ke Nadia agar Nadia mencicipinya. Dia bahkan tidak ingin meletakkan lengannya di sandaran tangan karena takut menyentuh lengan dari Nadia.

 Satu setengah jam berlalu, keduanya keluar dari bioskop. Terus berjalan tanpa arah di dalam mall. Sembari Samuel mencari-cari topik.

“Filmnya keren yah,” kata Samuel.

“Iya.”

“Next time kita bisa nonton film favoritmu.”

Masih berjalan di kawasan mall. Samuel menawari sesuatu saat keduanya melewati area timezone.

“Kamu mau bermain?”

“Kurasa tidak. Lebih baik kita keluar.”

Di tengah perjalanan, keduanya dihadang oleh cosplayer dari karakter kartun yang lucu berbadan besar berwarna cokelat putih, telinga lebar, hidung menonjol. Cosplayer tersebut terus menjaili Nadia hingga membuat mereka tertawa. Samuel mengambil foto Nadia dan Cosplayer tersebut.

Selanjutnya, keduanya mendapat gerai minuman dingin dan dan duduk pada kursi besi memiliki sandaran di sekitar gerai.

Seorang lelaki muda sambil membawa Gitar tampak dari covernya seorang pengamen jalanan menghampiri mereka dan menawarkan untuk bernyanyi. Nadia menyetujuinya tetapi dengan syarat lain, dia ingin Samuel yang melakukannya. Dia akan tetap membayar pengamen tersebut sebagai sewa Gitar.

Detik itu juga, Samuel dilanda keringat dingin di cuaca yang hangat. Dia tidak punya persiapan untuk ini, dia tidak mungkin menolak.

Samuel melongo ke arah Nadia. “Kamu serius?”

“Yup. Kamu keberatan?”

Samuel celengak celinguk dan berkata. “Nad, bukannya aku menolak tapi suaraku sangat fals. Dulu aku pernah menyumbang lagu di kafe, dan kamu tau apa yang terjadi... bangunannya runtuh.”

Nadia menahan tawanya sambil membalas. “Bilang saja nggak mau.”

“Ganti yang lain aja, gimana?”

“Kebanyakan alasan.”

“Baiklah... tapi aku nggak mau tanggungjawab kalau sampai telingamu rusak.”

“Haha. Nggak apa-apa, nyanyi saja!”

 Pengamen itu pun menyerahkan gitarnya ke Samuel untuk dimainkan. Samuel berdiri meraihnya sambil bepikir, lagu apa yang dia akan nyanyikan? Apakah suaranya akan lulus sensor? Demi....

 Nadia sudah sumringah menunggu. Samuel memasang mode acuh. Tak peduli suaranya bagus atau tidak, dia akan tetap melakukannya.

Ia mulai bernyanyi lagu genre pop sambil memetik Gitar. NA Na Na... dia hanya mengambil bagian intro dan reff. Nadia bertepuk tangan sendiri meskipun suara Samuel standar.

Sesudah konser tunggal, dia mengembalikan gitar si pengamen. Nadia mengeluarkan selembar uang kertas dari ransel sekolah untuk diberikan ke pengamen tersebut sebelum pergi.

“Kamu ngerjain aku yakk?”

“Tidak sama sekali. Kamu nggak ikhlas yah?”

“Heh. Ikhlas lahir batin kok.”

‘Kalau sering berdua seperti ini, mungkin dapat mempercepat proses pendekatan.’ – Samuel.

‘Ini seperti berkencan.’ – Nadia.

Selanjutnya keduanya memikirkan akan melakukan apa. Rasanya belum ingin kembali ke rumah, meskipun waktu sudah hampir sore.

Keduanya berjalan seperti robot di taman kota, sepanjang jalan Samuel tidak melepas kedua tangannya dari kantong celana, di sampingnya satu tangan Nadia terus memegang tali ranselnya seakan-akan takut dijambret.

“Sebelum pulang, kita makan dulu yuk. Apa makanan kesukaanmu?” tanya Samuel

“Soto Ayam. Selera standar banget yah.”

“Semua suka makan Soto. Ayo kita cari tempat makan Soto Ayam.”

Tidak sulit menemukan tempat makan yang menyediakan menu Soto Ayam, hampir ada dimana-mana.

“Ramai banget,” kata Samuel ditengah kebisingan para pengunjung.

“Gimana nggak ramai, tempat ini murah meriah. Aku sering mampir makan disini bareng teman-teman,” jawab Nadia yang mengetahui warung tersebut.

Pemilik warung membawakan dua mangkok Soto Ayam.

Mereka berdua membubuhi rasa sotonya sesuai selera masing-masing. Samuel memperhatikan Nadia yang banyak menggunakan jeruk nipis dan sedikit tambahan cuka.

“Kamu suka kecut ternyata.”

Nadia cengengesan. “Ya.”

“Kebanyakan orang suka pedas, tapi kamu suka yang kecut-kecut.”

“Makanan tanpa jeruk nipis itu rasanya hambar,”

Samuel menegurnya. “Jangan banyak-banyak, penjualnya akan rugi kalau kamu menghabiskan banyak jeruk nipisnya.”

Kontan Nadia melirik penjualnya, sungguh dia tidak peduli seberapa banyak pemakaian jeruk nipisnya.

“Oia, aku sekarang mengejar target nilai tertinggi agar dapat beasiswa masuk ke perguruan tinggi,” kata Nadia. “Kamu gimana? Setahuku kamu juga punya nilai-nilai yang tinggi.”

“Sebetulnya, aku masih ragu dengan diriku sendiri.”

Lihat selengkapnya