Tak ada yang terjadi di antara Samuel dan Nadia, Sejauh ini semuanya benar-benar menganggap terhubung dalam ikatan pertemanan.
Langit senja yang kehitaman semakin meredup, Jefry pulang dari supermarket dengan berjalan kaki sambil menenteng belanjaannya. Sore ini suasana pinggiran pelabuhan masih nampak ramai.
Ia menghentikan langkahnya sebelum sampai di halaman rumahnya ketika melihat ke dermaga beton seorang perempuan satu sekolah dengannya berdiri menghadap ke laut.
Jefry mendekati perempuan itu seraya berpikir, ‘Apa yang dia lakukan disini?’
Namun perempuan itu lebih dulu bertanya ketika melihat Jefry menghampirinya. “Kenapa kamu ada disini?” tanyanya.
Jefry mendecil. ‘Idiot.’
“Pertanyaan macam apa itu? Ini wilayahku. Rumahku nggak jauh dari sini,” jawab tegas. “Harusnya aku yang nanya, bagaimana kamu bisa tiba-tiba ada disini?”
“Mami mengajakku jalan-jalan ke rumahmu. Sudah kuberitahu kamu sebelumnya, Mamiku dan Ayahmu adalah teman,” jelasnya singkat. “Mereka masih berbicara di teras rumahmu. Aku kesini karna aku enggak mau dengar pembicaraan mereka.”
“Oh begitu.”
“Belakangan ini Mamiku intens komunikasi dengan Ayahmu. Aku nggak pernah niat buat nguping, tapi aku sedikit penasaran sejujurnya.”
“Daripada nguping mendingan kamu langsung nanya saja kan. Kalau ada yang mudah ngapain nyari yang susah.”
“Tidak seperti itu,” balasnya. “Aku mengkhawatirkan sesuatu tentang Mami, tapi aku juga nggak ngerti kekhawatiran apa itu sebenarnya....”
“Aku mungkin nggak bisa membantumu karna aku nggak tahu, jadi aku nggak bisa apa-apa. Tapi kamu bisa berbagi denganku.”
Jefry maju dua langkah di depan Nadia dan melanjutkan kalimatnya.
“Mungkin angin di sini bisa menghilangkan kekhawatiranmu. Atau mungkin juga bisa mengusir kesedihan yang tersembunyi di dalam kegelapan malam,” katanya bak pujangga.
“Eh? Bisa nggak kamu ngomongnya lebih sederhana, Jef?”
‘Oh No. Apa yang kukatakan?’ – Jefry.
“Oia aku dan Yudha rencana mau belajar bareng. Kamu dan Gisel bisa join kalau mau.”
“Aku juga sudah buat agenda belajar bersama di rumah Gisel. Kalian saja yang join kalau mau.”
“Kapan?”
“Besok tanggal merah, kami janjian di rumahnya jam sepuluh.”
“Okey.”
“Hawa di sini dingin yah menjelang malam hari,” ucap Nadia sambil sedikit menggigil menyatukan kedua tangannya di depan dada.
“Mau pinjam sweaterku?”
“Nggak.”
“Cih! Niat baik nggak dihargai.”
Nadia tidak membalas.
“Kamu serius masih mau di sini? Kenapa kita nggak kembali ke rumahku saja?”
“Hum, Mamiku akan menelpon kalau dia sudah selesai.”
“Aku temanin kamu.”
Keduanya berdiri sejajar menghadap ke laut menghirup angin senja terasa tebal, seperti awan bergumpal di cakrawala.
**-**
Hari ini mereka akan berkumpul di rumah Gisel guna belajar bersama. Rumah berwarna ungu putih bertingkat satu yang cukup besar, terdapat taman mini di samping rumah dan kolam ikan buatan. Ini adalah rumah kedua bagi Nadia.
Nadia lebih dulu datang, dia meletakkan jenjengan kantong berisi camilan di atas meja berada di teras rumah Gisel.
“Tadi aku mampir ke supermarket.”
“Ngapain repot-repot sih.” Gisel ikut duduk sambil memainkan ponselnya. “Mereka jadi kesini?”
“Dari chat tadi pagi, katanya IYA.”
Tak lama kemudian, dua insan yang ditunggu sudah datang bersamaan.
Keempatnya melangkah masuk setelah melepas sepatu masing-masing, mengikuti Gisel menuju halaman belakang. Jefry mengambil alih jenjengan kantong bawaan Nadia.
Di pelataran bersih, karpet berbentuk persegi meja lipat serta buku-buku pelajaran yang akan mereka pelajari sudah tersedia rapi. Di sekitarnya beberapa pot besar berbaris rapi.
Yudha bertanya. “Keluargamu pada kemana?”
“Ibu sedang pergi, Adikku ke rumah temannya, Ayah ada di ruangan kerjanya.”
Duduk melingkar ditengah-tengah meja lipat. Yudha antusias membuka kantongan.
Jefry bertanya. “Siapa yang membeli ini?”
Nadia menyahut. “Aku”
“Kalau ada yang bawa camilan, berarti harus ada yang bawa minuman,” kata Jefry. “Aku akan keluar beli minuman.”
“Ya elah... kalian ini apa-apan sih, rumahku ini ada dapur loh.”
“Biarin. Kami nggak mau repotin,” ucap Yudha.
Jefry menambahkan. “Tidak sopan datang ke rumah teman dengan tangan kosong.”
“Ya sudah. Ada minimarket nggak jauh dari sini.”
Jefry lekas berdiri.
“Ee Tunggu aku.” Yudha tak mau ketinggalan.
Jadi keduanya pergi bersama ke minimarket.
“Rempong banget sih mereka.”
Dua lelaki sebaya sedang berjalan beriringan melewati jalan yang tidak ramai, cuaca sangat mendukung tidak terlalu terik.
“Sepertinya aku harus memberitahumu sesuatu.”
Jefry tampak penasaran.
“Aku pikir Nadia cewek yang baik. Aku membantumu mencari tahu kepribadiannya lewat Gisel.”
Spontan Jefry terbelalak. “Oh gosh!” Ia menghentikan langkahnya. Menatap cemas Yudha. “Bagaimana kalau dia memberitahu Nadia?”
“Kamu tenang saja, Gisel bisa jaga rahasia sampai kamu sendiri yang mengizinkan.”
Padahal sebaliknya. ‘Tak ada rahasia di antara sahabat’ kutipan Gisel.
“Kamu bisa menjamin itu?”
Yudha mengangguk-ngangguk meyakinkan kawannya.
“Kamu tahu, kamu terlalu mengambil waktu. Kamu harus bergerak jangan stuck trus.”
Kembali Jefry menatap Yudha. “Yud, Kita jangan salahkan Sam. Ini salahku juga, karna aku tidak jujur di depan Sam.”
“Hei, aku hanya mendorongmu keluar dari zona hati yang buruk.”
“Dan aku sedang berusaha, aku nggak pernah abaikan setiap masukanmu.”
Yudha terdiam sekejap, dia merasa sudah terlalu keras pada kawannya.