“Semalam Papi melihat-lihat foto zaman dulu Papi dan Mamimu. Membuat Papi jadi rindu Mami,” lirih Pak Kemal duduk di sofa tepat depan televisi bersama anak lelaki semata wayangnya. “Saking rindunya sampai kebawa mimpi.”
Jefry menyimak sembari menonton televisi.
“Mamimu muncul dan dia menyuruh Papi cepat-cepat mencari pendamping hidup hingga akhir hayat Papi.”
Jefry menanggapi datar. “Jangan ngomong yang nggak-nggak deh, Pi.”
“Eh Bukan Papi. Mamimu yang bilang begitu dalam mimpi.”
“Jefry nggak percaya.”
“Papi sudah menuju tua. Papi hanya mencari pendamping untuk mengurus Papi.”
“Ada-ada saja. Jefry sanggup mengurus Papi kok.”
“Gimana kamu bisa mengurus Papi. Kamu sudah remaja gini masih nyusahin Papi.”
“Ya ampun. Apa Papi merasa kalau nggak ada aku beban Papi jadi berkurang?”
“Kita hanya ingin menjalani hidup makin nyaman.”
“Tau ah gelap.”
Bukan perihal ucapan Papinya tentang mimpi yang dipikirkan Jefry. Tapi akhir-akhir ini Papinya sering berkomunikasi dengan Mami Nadia, mengingat mereka adalah teman masa kuliah. Jefry mulai berpikir lain, Apakah keduanya punya hubungan khusus? Tidak, tentu saja Jefry tidak akan merestui jika perihal itu benar, mengingat dia menyukai Nadia. Apa jadinya jika wanita yang disukai tidak menjadi pujaan hatinya melainkan saudara tiri dengannya. Itu jika seandainya.
Segera Jefry menghapus pikiran konyol di dalam kepalanya. Dia tidak ingin musibah itu terjadi.
Sementara itu, di kediaman Nadia. Menjelang tidur bermain ponsel sambil maskeran di wajahnya. Tiba-tiba masuk panggilan video call dari kontak Samuel.
Segera ia melepas masker di wajahnya.
Setelah mengakhiri panggilan video kurang lebih tiga puluh menit. Nadia memakai masker wajahnya kembali.
Di mana ada kemauan, disitu ada jalan. Harus sering-sering mancing dia biar dia bisa gerak, itu strategi Samuel. Dia biasanya tidak menggoda perempuan. Tetapi dengan Nadia berbeda, dia selalu tergerak.
**-**
Sambil berjalan ke kelas, keduanya berbincang-bincang.
“Apa kalian video call sampai ketiduran? Seperti pasangan romantis lainnya.”
Nadia menghela napas, melipat kedua tangannya. “Bisa nggak ngomongnya nggak berlebihan terus?”
“Kalau kalian jadi jalan, ini kencan kedua kalian. Kalau masih nggak ada percikan cinta di antara kalian berdua, aku bakal mengajarimu rumus dunia percintaan.”
“Kamu lebih hapal rumus percintaan daripada rumus pelajaran.”
“Hehehe.”
“Kayaknya dia semakin perhatian sama aku, tapi dia terlihat masih malu-malu.”
“Cowok memang nggak jelas.” Gisel menghela napas. “Jadi kemana tujuan kalian kali ini?”
“Dia mengajakku ke gramedia. Kebetulan aku juga mau nyari buku.”
Percikan api cinta membutuhkan gairah yang membara-bara di antara dua orang. Gairah Nadia mungkin masih belum cukup besar. Dia masih butuh waktu, Apakah dia benar-benar menyukai Samuel?
Sisi Samuel, dia semakin menunjukkan ketertarikannya. Sudah ada sedikit kemajuan, Nadia tak pernah menolak jika Samuel mengajaknya pergi berdua.
“Wajah cantikku ini sangat menyedihkan, disiksa sama jerawat bandel,” keluh Gisel seorang diri. “Dokter bilang, kemungkinan aku alergi makanan.”
“Sudah minum obat alergi?”
Gisel berdehem. “Oh ya, Nad. Kamu sudah putuskan mau kuliah di universitas mana?”
“Aku ingin masuk Unversitas Negri. Tapi nilai yang dibutuhkan sangat tinggi.”
“Kamu pasti bisa, nilaimu bagus-bagus semua beda dengan nilaiku yang menyedihkan,” ucap Gisel tersisih. “Bisa lulus saja aku sudah bersyukur banget, yang lain nggak usah dipikirin.”
“Auuughh.” Nadia sontak menoleh dengan mata melotot tajam. Ketika pundaknya di labrak Jefry dari belakang. “Jefry... bodoh. Apa Papimu tidak mengajarimu cara menyapa orang yang benar?”
Alih-alih merasa bersalah, Jefry malah memasang wajah masam. “Kamu cantik sekali kalau lagi emosi.”
“Apa maksudmu? Kamu menyanjungku atau menghina?”
“Jangan galak-galak. Nih aku bawakan minuman sebagai tanda terima kasihku atas bimbinganmu kemarin.”
Minuman kotak rasa jus apel. Jus apel itu terasa asam dan manis tetapi sedikit kompleks. Seperti keadaan hati seorang Jefry. Suara jantungnya yang berdetak cepat secara tiba-tiba, masih beruntung dentumannya tidak keras.
Namun nasib apes menghampiri dua insan. Ketika Yudha selalu datang dengan tingkah barbar, dengan sengaja ingin mengagetkan Jefry dari belakang. Alhasil Jefry terksiap ke depan merasakan giginya saling gemeretak. Hampir saja dia menubruk Nadia yang berdiri tegak di hadapannya, untung kali ini dia dapat menahan. Namun seragam putih Nadia harus menjadi korban kecerobohannya, seragam putih itu terkotori dengan noda cairan berwarna merah akibat percikan dari minuman jus kotak.
“Kamu nggak bisa jalan dengan benar yakk. Idioot,” teriak Gisel nada suara meledak-ledak.
“Sorry-sorry.”
Dua siswa meminta maaf segera pada Nadia, berusaha ingin membersihkan namun keduanya hilang akal.
“Bajuku jadi kotor... mana masih pagi lagi,” ketus Nadia.
Gisel segera mengeluarkan selembar tissu basah dari tasnya dan melapnya. Bukannya noda itu pudar, tetapi semakin luntur karena kandungan basah pada tissu
“Kyaa... masa aku harus pakai baju kotor sampai pulang....”
“Kamu bisa pakai hoodieku.”
Pertolongan pertama itu datang dari Samuel, ia datang tak terduga. Dia memberikan sweater hitamnya pada Nadia. Sedangkan Jefry hanya ternganga melihat adegan itu. Untuk kesekian kalinya dia tertinggal langkah dari Samuel.
“Aah Sam, bukan hanya wajahmu yang tampang malaikat. Tapi hatimu juga seperti malaikat,” puji puja dari Gisel mewakili sahabatnya.
Ketika Gisel memuja Samuel, Yudha lah yang lebih cemburu mendengarnya.
Nadia tidak ragu menerimanya, dan mengucapkan terima kasih pada Samuel.
Kelas sebentar lagi mulai. Mereka masuk ke dalam kelas masing-masing.
**-**
“Semuanya kembali duduk. Ibu akan mengumuman sesuatu!”
Gisel memasang wajah malas. “Pasti tentang ujian.” -_-
“Nad, apa kamu ada rencana untuk berbelanja? Belanja keperluan gitu.”
“Hm, kayaknya nggak deh. Kamu mau belanja?”
“Iya ada beberapa barang yang kucari,” ucapnya. “By the way, kamu mau temani aku pergi belanja?”
“Hari ini?”