The Chain Of Youth

Haidee
Chapter #16

Kemalangan

Ruangan seni musik yang dilengkapi beberapa alat musik mulai dari modern hingga tradisional. Satu organ tunggal di dekat gitar akustik di depan drum elektrik. Di sana Samuel sudah duduk rapi siap memainkan keahliannya di hadapan Nadia. Nadia mengajukan permintaan satu lagu favoritnya untuk dimainkan versi instrument piano oleh Samuel.

Jari-jarinya saling berganti menekan tuts, meski dia sudah jarang bermain di bidang ini, tidak membuat jarinya jadi kaku. Terdengar musik lambat mellow suara piano yang merdu di ruangan itu.

Usai konser tunggal dengan satu penonton. Nadia tergakum-kagum dan merasa istimewa terhadap Samuel yang telah memainkan lagu favoritnya. Bagi Nadia, pria bermain piano memiliki jiwa romansa yang kuat.

“Sam, kukasi tahu satu hal yang bakal buat kamu senang.”

“Apa?”

“Kamu adalah cowok kedua yang terbaik di mata para gadis diseluruh sekolah ini.”

“Ini hal senang yang kamu mau bilang?”

“Iya dong. Tapi nggak cuman ini.”

“Apa lagi?”

“Kamu bisa menggeser Ketua Osis jadi peringkat pertama, seandainya kamu eksis seperti dia.”

“Aku nggak butuh pengakuan.”

Nadia tercengang. “Opss.”

“Aku lebih suka diakui oleh satu orang yang aku inginkan daripada semua cewek di sekolah ini.”

“Maksudmu?”

“Kamu.”

“Eh.” Spontan Nadia menatap Samuel dengan tatapan terkejut namun segera dia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Nadia tersipu meleleh. Jika ini di drama-drama romansa seperti drama Korea, dialog ini sangat membawa perasaan uwuu di hati perempuannya.

Berdua di suasana yang tepat. Samuel bertingkah seperti buaya darat.

“Kamu sudah lama bermain piano?”

“Hm. Aku belajar main piano sejak Sekolah Dasar. Aku bisa memainkan instrumen klasik eropa,” jawabnya. “Aku pernah ikut perlombaan piano junior, tapi aku gagal di enam belas besar.”

Lalu keduanya mengobrol untuk saling mengenal lebih jauh lagi, saling berbagi beberapa hal. Seperti yang dia katakan sebelumnya. Tidak menutup kemungkinan, jika rasa nyaman sudah timbul di antara mereka, terutama pihak Samuel. Itu sangat jelas karna Samuel yang lebih besar menunjukkan ketertarikannya.

Terkadang otak Nadia menimbulkan sesuatu tentang Samuel, namun dia tak ingin terlalu memikirknnya apalagi mencari tahu. Di sini Nadia mencoba membuka ruang dan merespon Samuel dengan baik. Sebagaimana Samuel adalah satu dari beberapa siswa popular di sekolah, tentu satu keberuntungan disukai oleh Samuel. Namun dia tak ingin buru-buru, tak menggebu-gebu seperti pembawaan Gisel.

“Wah! Kamu menakjubkan.”

“Tidak, kamu lebih menakjubkan.”

“Tidak, tapi kamu.”

“Tidak, kamu benar-benar lebih menakjubkan.”

“Baiklah kita berdua luar biasa.”

Keduanya saling balas pujian.

**-**

Saat ini Jefry dan Yudha kembali dari kantin, sambil menggenggam minuman kaleng masing-masing. Keduanya mendapati Gisel duduk sendiri di taman kecil di dekat kelas mereka.

“Hi Sel, tumben sendiri aja. Nadia mana?”

“Dia sedang sibuk berkencan dengan Sam.”

Kata-kata Gisel cukup melukai harga diri Jefry.

“Kamu jujur banget jawabnya,” timpal Yudha menjaga perasaan satu temannya.

Gisel yang sadar langsung menggigit bibir bawahnya sambil melirik Jefry.

Jefry pun peka terhadap lirikan Gisel. “Ngapain kamu melihatku kek gitu?”

“Nggak usah pura-pura, Yudha sudah memberitahuku.”

Kedua siswa itu duduk di depan Gisel.

“Samuel lebih agresif dari yang kukira.”

“Apa itu masalah buat kamu?”

“Sejauh ini, tidak.”

“Dasar lemaah,” sindir Yudha melihat situasi antara cinta segitiga kawannya.

“Aku nggak lemah, perasaanku saja yang lemah.”

Gisel menambahkan. “Setidaknya Samuel nggak pengecut.”

“Sekarang kamu nggak bisa tegas dengan dirimu.”

“Yud, kamu membuatku hilang semangat.”

“Sorry, maksud aku bukan seperti itu.” Yudha meluruskan maksudnya. “Habisnya kamu sendiri sih nggak jelas.”

“Entahlah, semuanya terjadi begitu cepat.”

“Its okey, aku ngerti.”

Apalagi yang dipikirkan oleh Jefry tentang Samuel. Dia kelihatan sentimen, padahal dia dan Samuel tidak punya masalah.

“Aku tahu kamu menjaga pertemananmu dengan Samuel, bahkan kamu mendorongnya untuk mendekati Nadia. Apa kamu tidak khawatir persahabatan kalian rusak?”

Ini seperti keduanya perang dingin, hal itu cukup buruk.

“Kamu bikin malas, tadi katanya mendukung sekarang jadi negatif thinking. Nggak konsisten agh.” Jefry mendecis pada Yudha.

“Jangan ekspresi gitu, aku kasihan melihat wajah malangmu yang tertindas,” balas Yudha

Gisel melanjutkan. “Tertindas perasaan. Haha.”

Keduanya tertawa getir mengejek Jefry.

Dua tanduk berdiri di atas kepala Jefry. Ia berteriak di depan keduanya. “Apa yang lucu? Aku serius?”

Gisel mengangkat telapak tangannya tanda Stop sambil tertawa licik. “Maaf, kami tidak bisa membantumu....”

“Bisa nggak ngobrolnya tentang sesuatu yang buat aku bahagai!?”

“Bisa...,” seru Gisel. “Ayo kita rayakan musibah yang menimpamu, biar kamu nggak sedih,” katanya sambil mengangkat minuman kalengnya ke atas untuk cheers.

Yudha menanggapi dengan melakukan hal yang sama seraya meledek. “Ya... ini penghargaan buat Jefry karna dia sudah kuat menjaga perasaan.”

“Dasar teman bastardd.”

“Ramalan cuaca pagi ini mengatakan, kalau hari ini adalah hari terpanas,” kata Gisel. “Apa kamu nggak kepanasan, Jef?”

Yudha tertawa terbahak-bahak. “Boho aku mau pingsan karna kepanasan.”

Rona memerah sudah mulai terpancar di wajah Jefry. “Kepanasan? Aku nggak merasa tuh.”

“Kamu mengorbankan kenyamananmu,” sembur Yudha. “Sangat konsisten.”

“Hei, aku nggak seburuk yang kalian berdua katakan.”

Lihat selengkapnya