The Chain Of Youth

Haidee
Chapter #19

Minggat

Ada banyak hal yang harus dilakukan dalam hidup kita. Ada hal-hal yang sangat penting, ada juga hal-hal kecil. Tapi anda tetap tidak boleh mudah menyerah walaupun itu hanya hal-hal kecil.

Hari demi hari berlalu, perasaan cemburu Jefry seperti siklus mood naik turun tidak beraturan. Kabar baiknya, dia telah mendapat pekerjaan paruh waktu sebagai karyawan di toko penjualan sparepart otomotif dengan jadwal kerja sistem shift. Jefry tidak ingin sepenuhnya bergantung pada Papinya. Jadia dia melakukan pekerjaan paruh waktu tersebut.

Pekerjaan paruh waktu membuat dia sedikit lelah dan harus pandai membagi waktu belajar. Dia dapat menikmati sekolah di pagi hari dan bekerja di sore hari. Untuk merasakan hidup dan menghasilkan uang.

Samuel tetap mendekati Nadia dengan strateginya. Lain sisi dia juga memiliki problematik internal. Itulah mengapa dia tidak dapat terlalu fokus pada asmaranya. Meski begitu, dia  tak gentar terus berusaha memberikan kode meluluhkan hati Nadia.

Sementara Nadia, meskipun terlihat kalem dalam asmara namun hatinya dirayapi ambigu. Secara karakteristik, Samuel adalah kandidat teratas menggantikan posisi Ketua Osis di pilihannya, tapi dia belum dapat memantapkan hatinya. Selain itu, dia masih ragu dengan kenyamanannya. Saat ini masih menganggap Samuel sebagai teman baik walaupun ia tahu Samuel memiliki perasaan padanya, tetapi Samuel belum pernah mengatakan secara langsung selain memuji kepribadian Nadia.

Yang terbaru, Yudha dan Gisel semakin lengket bak perangko.

**-**

Seseorang mengetuk pintu rumah Jefry sekitar jam sembilan malam. Jefry melihat melalui lubang pengintip. Dan seorang pria mengenakan masker wajah dan topi hitam berdiri di luar.

Pelan-pelan Jefry membuka pintu.

“Sam.” Ia mellihat Samuel menggendong tas punggung besar ketika dia membuka pintu.

Samuel menurunkan masker di wajahnya. “Jef, bisakah aku nginap di rumahmu?”

“Tunggu... kenapa kamu bawa tas? Kamu....”

“Minggat.”

“Hah? Astaga, kenapa kamu kayak bocah.”

“Ceritanya panjang,” jawabnya enteng. “Sekarang kamu terima aku atau nggak tinggal di rumahmu untuk sementara?”

“Ya, aku sih nggak apa-apa. Tapi gimana nanti....”

Samuel menerobos masuk tanpa menunggu Jefry menyelesaikan ucapannya. Kemudian Jefry meminta Samuel mengikuti ke kamar pribadinya.

Dalam sebuah bilik berpetak. Tidak besar cukup untuk memuat properti Jefry. Ranjang kecil, lemari, meja belajar.

Samuel meletakkan tas punggungnya di lantai bersandar di meja belajar Jefry. Lalu keduanya duduk di atas kasur Jefry.

“Maaf kamarku kayak kandang sapi.”

Latar belakang kamar Jefry saat ini: Buku yang bersebaran, handuk yang sudah digunakan, bungkusan camilan dan minuman kaleng yang sudah habis semuanya masih tergelatak.

“Seandainya kamu kasi tahu lebih dulu, aku pasti membersihkan kamar sebelum kamu datang.”

“Santai saja, Bung.”

“Aku mengizinkan kamu tinggal di sini, tapi setidaknya kamu harus kasi tahu aku alasan minggatmu.”

“Tentu saja,” jawabnya santai lagi. “Ayahmu kemana?”

“Dia lagi keluar,” jawab Jefry. Ia menyenggol bahu Samuel. “Kamu harus memberitahuku! Apa yang terjadi sebenarnya.”

“Aku bertengkar dengan Ayahku. Dia nggak suka melihatku bermain piano lagi. Dan juga dia menyuruhku dekat dengan anak temannya.”

Jefry bergemuruh. “Apa yang salah dengan bermain Piano? Kamu punya bakat di musik.”

“Maka dari itu, aku menolak tawaran kompetisi piano itu.”

“Kalau kamu mau, aku bisa membantumu bicara dengan Ayahmu.”

“Nggak perlu, itu hanya buang-buang waktu saja.”

“Terus ssoal anak temannya?”

“Dia ingin aku berkenalan.”

“Dijodohkan?”

“Belum seperti itu.”

“Ayahmu egois. Seenaknya saja.”

“Kalau ada yang lebih keras di dunia ini selain batu, itu adalah Ayahku.”

“Menurutku Ayahmu sangat perfeksionis.”

“Terlalu perfeksionis malah.”

Mereka berdua kompak menghembuskan napas lelah.

**-**

-Kronologi Rumah Samuel-

Sebelum cekcok, Samuel dan Ayahnya berbicara dengan nada yang normal. Mulai pembahasan tujuan universitas, kompetisi piano, hingga anak perempuan kolega Ayah Samuel. Ayahnya menginginkan Samuel untuk berkenalan dan menjalin hubungan dekat dengan anak perempuan dari koleganya tersebut. Namun ditolak mentah-mentah oleh Samuel.

“Itu hanya main-main. Itu hanya kompetisi kecil. Tidak layak untuk ditonton sama sekali.”

 “Aku sudah hormat sama Ayah sudah lama. Tapi Ayah masih sering maksain harapan Ayah padaku. Apa Ayah benar-benar sayang sama Sam? Apa Ayah benar-benar pernah peduli sama Sam?”

Ayah Samuel berkata suara keras. “Saya tidak pernah mengharapkan apapun dari kamu. Tapi kalau kamu tidak mampu mencapai apapun, setidaknya cobalah untuk tidak mengecewakan saya.”

“Ayahlah yang harus berhenti. Ayah selalu menyalahkanku ketika ada yang tidak beres,” balas Samuel. “Kalau saya tidak mampu melakukan sesuatu seperti yang Ayah katakan. Ayah hanya marah dan melihatku salah. Bagaimana bisa saya melakukan benar, kalau saya hanya mellihat Ayah kehilangan kesabaran. Tapi itu bukan berarti Sam nggak bisa menantangmu.”

Ayah Samuel berdiri, mengayunkan lengannya seolah ingin menampar anaknya. “Kenapa kamu!!”

“Pukul.. Ayo pukul aku,” teriak Samuel. “Ayah selalu seperti ini.”

“Kamu sudah mulai tidak sopan....”

“Biarkan aku melakukan hal yang aku sukai,” kata Samuel tersisih. “Dan jangan khawatir dengan nilaiku. Aku berjanji, aku tidak akan membiarkan nilaiku jatuh.”

- Kronologi end-

Setelah debat, Samuel memutuskan pergi tanpa penyesalan. Ada rasa sedih dan tekanan yang dia rasakan.

**-**

Kembali ke kamar Jefry.

“Oh jadi begitu ceritanya.” Jefry menatap sendu wajah Samuel. “Apa kamu dipukul beneran?”

“Nggak. Dia hanya menggertak.”

“Oh syukurlah.”

Lihat selengkapnya